ALI
SYARI’ATI;
PEMIKIR, PENDIDIK, DAN PEJUANG
REVOLUSIONER IRAN
Oleh: Ahmad Rivauzi, MA
A. Pendahuluan
Islam yang dimasa Nabi dan beberapa
zaman sesudah beliau telah membingkai peradaban gemilang dan ikut menjadi satu
rangkaian penyebab Barat mampu menemukan titik cerah peradabannya. Sebagaimana
disebut oleh Ali Syari’ati, dengan melupakan sejarah Islam dalam pemahaman
kita, maka pemahaman sejarah akan pincang.
Iran sebagai suatu wilayah Islam yang
bermazhab Syi’ah juga telah membuktikan kepada dunia bahwa Islam mampu menjadi
motor yang menggerakkan dan membingkai peradaban.
Ali Syari’ati adalah salah seorang
tokoh intelektual Iran telah membuktikan kepada kita melalui gagasan-gagasan,
tulisan-tulisan, karya dan aksinya bahwa Islam mampu merubah wajah dunia.
Dengan menjadikan Islam sebagai satu
mazhab pemikiran, Ali Syari’ati membangun tanggung jawab sosial yang kokoh pada
dirinya dan mampu menularkannya kepada orang lain. Ini adalah salah satu keistimewaan Ali Syariati dibandingkan
dengan tokoh-tokoh lain baik yang hidup pada masa lampau maupun yang hidup pada
masa sekarang ini.
Walaupun tidak semua pemikiran
Syari’ati dapat diterima oleh semua pihak, namun pemahaman yang benar akan
seorang Ali Syari’ati akan membantu dalam melihat dan mengukur pemahaman ke
Islaman kita.
Sebagaimana ditulis oleh Syari’ati
bahwa pemahaman yang benar akan terbuktikan pada diri kita pada sejauh mana
pemahaman itu mempunyai nilai pengaruh dan mamfa’atnya pada diri kita dalam
kehidupan kita. Karena tugas
kita barangkali adalah menjawab pertanyaan:
Apa mamfaat ke Islaman saya bagi diri saya dan kehidupan saya?
B. Sejarah Ringkas Ali Syari’ati
Ali Syari’ati lahir di Mazinan[1]
yang terletak di perbatasan kota Masyhad, bagian timur laut Iran, pada tanggal
24 November 1933 dan pada beberapa tulisan menjelaskan bahwa Ali Syari’ati
lahir pada tanggal 24 November. Dia adalah anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra
dalam keluarga yang religius, zuhud dan suka membantu masyarakat.
Pada tahun 1940-an Ali Syari’ati turut
dalam “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan “Pusat Syi’ar Kebenaran Islam”
yang didirikan oleh ayahnya Muhammad Taqi Syari’ati yang pada waktu mengajar
pada sekolah lanjutan atas, sarjana, dan Islamolog).[2]
Pada tahun 1941, Ali masuk tingkat
pertama sekolah swasta Ibn Yamin, tempat ayahnya M. Taqi mengajar. Ketika
kecil, Ali Syari’ati dipandang mempunyai dua prilaku yang berbeda; pendiam, tak
mau diatur, rajin dan penyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar dan
sepertinya punya sifat acuh tak acuh. Kendatipun Ali Syari’ati biasa bersama
ayahnya, membaca sampai larut malam dan kadang sampai subuh, dia tidak pernah
membaca bacaan yang diwajibkan sekolah, juga tidak mengerjakan pekerjaan
rumahnya.[3]
Setelah menamatkan Sekolah Dasar,
Syari’ati melanjutkan studinya ke Akademi dengan Sastra sebagai pilihan dan
berhasil meraih gelar B.A. dalam bahasa Arab dan Perancis pada tahun 1958. Pada tahun 1960, Syariati berkesempatan
studi di Sarbon Paris dengan mendapat beasiswa sebagai imbalan prestasinya.
Ketika berada di Paris inilah Syari’ati berkesempatan menela’ah karya-karya
pilosof, sosilog, dan Islamolog[4]
dan pada tahun 1964, Syari’ati kembali ke Iran; ditahan di perbatasan dan
dipenjara selama enan bulan.[5]
Ali Syariati ditahan dan dibawa ke penjara Khoy di Azarbaijan. Kemudian Ali Syari’ati
dipindahkan ke penjara Qezel Qal’eh dekat Taheran. Adapun alasan
penangkapannya adalah karena dituduh telah melakukan upaya melawan pemerintah
di Paris. Syari’ati baru dibebaskan setelah adanya desakan dunia internasional.[6]
Setelah dibebaskan, Ali Syariati aktif
dalam berbagai kegiatan; diantara aktivitas Syari’ati antara tahun 1964 – 1969
adalah sebagai pengajar sementara di sekolah lanjutan dan di Akademi Pertanian.
Pada tahun 1969 ini Syari’ati melawat ke Taheran untuk mendirikan Husayniah Irsyad
dan mengajar di sana. Tahun ini adalah tahun yang paling produktif bagi Ali
Syari’ati dengan pengertian apa yang dinamakan Syari’ati sebagai “Islamic
Renaissance” dan pada tahun ini juga
Syari’ati pergi haji pertama ke Makkah.[7]
Pada tahun 1970, Syari’ati naik haji
untuk yang kedua kalinya dan menyempatkan diri melakukan lawatan ke
negeri-negeri lain di wilayah itu. Dua
tahun sesudah itu yaitu pada tahun 1972, Husayniah Irsyad terpaksa menghentikan
berbagai aktivitasnya dan Syari’ati ditahan karena berbagai aktivitas
politiknya. Pada masa beberapa tahun ini Syari’ati sering keluar masuk
penjarabaru pada tahun 1975 Ali Syari’ati dibebaskan setelah ditahan dan
setelah Organisasi Internasional, para intelektual Paris dan Aljazair
membanjiri Taheran berikut petisi untuk membebaskan Syari’ati. Pada tahun 1975
sampai dengan tahun 1977, Ali Syari’ati menjalani tahanan rumah.[8]
Pada bulan Mei tahun 1977 Ali
Syari’ati meninggalkan Iran menuju
Inggris dan pada bulan Juni pada tahun yang sama, Syari’ati ditemukan meninggalkan
misterius dan dikebumikan di Damaskus, Syria. [9] Dalam penjelasan Ali Rahnema dalam
bukunya “Para Perintis Zaman Baru Islam” lebih tegas menyatakan bahwa
meninggalnya pada tanggal 19 Juni
1977. Ali Syari’ati ditemukan meninggal dan tergeletak di lantai rumah kerabatnya secara misterius.[10]
C. Kondisi Sosial dan Politik di Masa Ali Syari’ati
Ali Syari’ati hidup dalam suasana
ketika kecenderungan kepada Peradaban
Barat nilai materialistic barat telah berurat berakar dan melanda seluruh
lapisan masyarakat termasuk pemerintah yang berkuasa pada saat itu. [11]
Syari’ati melihat abad-20 sebagai abad
“analisis ilmiah”, dan juga abad saat filsafat sejarah dikesampingkan; abab
ketika iman dipecah-pecah dan dikalahkan oleh materialitas dan kaum ilmuan
telah kehilangan kesadaran ilmiah dan komitmen sosialnya; abad ketika
kemanusiaan secara umum telah kehilangan kepercayaan pada cita-citanya yang
luhur dan Iran berada dalam kelumpuhan ideologis dalam artian bahwa walaupun
rakyat Iran tidak senang dengan penguasa tiran waktu itu, namun tidak mampu
berbuat. Jadi Islam Syi’ah mereka Cuma sebagai simbolik belaka.
Dalam menggambarkan kondisi masyarakat
Iran pada waktu itu, penulis memakai analogis yang diintrodusir oleh Ali
Syari’ati sendiri ketika dia melakukan upaya analisis ilmiah terhadap setiap
peradaban dalam perspektif sejarah dan sosiologi.
Menurut Ali Syari’ati, analogi yang
tepat untuk memahami sejarah dan sosiologi adalah kerucut. Katanya:
“Kerucut adalah kerangka acuan atas
berbagai pemikiran, keputusan dan berbagai persepsi kita. Dalam tiap-tiap
peradaban, tiap-tiap masyarakat, dan tiap-tiap zaman, sejarah berhubungan
manusia lalu tidak sebagai hubungan sesaat, tetapi berbentuk mata rantai yang
saling terkait … Jadi untuk memahami tiap-tiap periode, diperlukan kerucut ini,
dan masing-masing periode secara akurat dapat dibagi sesuai dengan gambaran
ini”. [12]
Lapisan kerucut terbawah adalah kaum
awam. Masyarakat atau massa yang kalau dihubungkan dengan kondisi massa di Iran
berada dalam kondisi yang dipercundang dan ditindas. Hak-hak mereka didustakan
dan kebebasan mereka dihancurkan.
Lapisan berikutnya adalah kaum kaum
terpelajar, intelektual, ulama, seniman, penulis dan lain sebagainya. Kelas ini
sering dikecam Ali Syari’ati karena sering menjilat pada penguasa, dan
mengokohkan status quo. Mereka adalah warisan budaya mapan dan mendapatkan
posisi kelas di tengah-tengan tatanan stratifikasi sosial. Mereka dikritik
Syariati karena telah melakukan penghianatan dengan memutar balikkan penafsiran
dari ajaran-ajaran Syi’ah.[13]
Selain
dari dua kelas di atas, adalagi beberapa orang jenius yang berjumlah
kecil yang tidak memiliki kelas dan berseberangan dengan status quo serta
warisan budaya dan metode berpikir yang ada. Mereka datang dengan semangat yang
baru dan metode berpikir baru. Kelompok ini pada masanya nanti menurut Ali
Syari’ati akan bertambah banyak dan akan mendapat posisi kelas di masyarakat
seiring dengan meningkatnya kekuatan dukungan kepadanya.[14]
Kelompok jenius ini menurut Syari’ati disebut raushanfikr[15].
Hal inilah yang terjadi pada
kasus-kasus abad pertengahan seperti pemikiran baru para ilmuan yang berlawanan
dengan pemikiran umum yang berkembang seperti ajaran pemikiran gereja. Pada
proses awal ilmuan mendapat tantangan dan permusuhan, namun akhirnya ilmuan dengan
pemikirannya memperoleh tempat dan berkembang menjadi sesuatu yang dimapankan
pada sejarah peradaban.
Pada puncak kerucut adalah penguasa. Di
Iran, kelompok penguasa adalah tiran otoriter dan menjadikan kelompok dan pemikiran syi’ah konservatif sebagai
tameng mengekalkan status quo.
Pada masa Ali Syari’ati ini juga
sebagaimana dijelaskan Floor, Iran adalah negara pra industri. Masyarakat macam
ini dikuasai oleh suatu elite kekuatan kecil, yang mengontrol fungsi-fungsi
atau posisi-posisi tersebut baik pada aspek politis, ekonomis, ataupun
religius. Kekuasaan elite ini seringkali berlanjut melebihi kehidupan satu
dinasti.[16]
Di Iran terdapat kelompok-kelompok
kelas menegah tardisional yang bisa berfungsinya melegalkan kekuasaan politik
syah.[17]
Hal ini yang ditentang keras Ali Syari’ati walaupun pada perkembangannya dalam
dinamika politik Iran muncul sekelompok ulama yang menentang penguasa seperti
barisan perjuangan Ayatullah Khomeini. Dua tokoh ini walaupun memiliki banyak
perbedaan, namun saling melengkapi dalam revolusi Iran.
Perbedaan antara kedua tokoh ini dapat
dilihat di antaranya dari latar belakang mereka; yang satu dari kelompok
revolusioner modernis dan yang satu dari kelompok tradisional revolusioner.
Akan tetapi banyak kesamaan pada diri mereka terutama dari tujuan perjuangan
mereka dan kesamaan ideology Syi’ah mereka yang membangun bingkai perjuangan
mereka. Kontribusi besar Ali Syari’ati adalah sebagai tokoh yang membangunkan
rakyat Iran untuk ikut dalam revolusi yang akhirnya dipimpin oleh Ayatullah dan
mampu menumbangkan kekuasaan tiran Syah Iran pada tahun setelah meninggalnya
Syari’ati pada tahun 1977.
D. Pokok-Pokok Pikiran Ali Syari’ati
Ali Syari’ati adalah seorang Syi’ah
tulen. Di dalam tulisan, ceramah dan setiap gagasan yang disampaikannya hampir
tidak pernah dia menjadikan Abu Bakar, Umar, dan sebagainya sebagai referensi
membangun aliran pemikirannya. Idola yang sering diapungkannya kepermukaan
adalah Ali, Hasan dan Husein, Zainab binti Husein, Salman al-Farisi dan
teristimewa adalah Abu Zar al-Ghifari.
Yang sangat menarik dari karakter
mazhab pemikiran Ali Syari’ati adalah kemampuannya dalam melakukan interpretasi
terhadap ajaran Syi’ah yang memiliki nuansa yang sangat revolusioner.
Adapun pokok pikiran Ali Syari’ati yang
cukup mendasar di samping banyak gagasan Ali Syari’ati adalah:
1.
Metode pendekatan pemahaman ke-Islaman.
Ali Syari’ati menawarkan satu metode
dalam melakukan pemahaman ke Islaman yang benar. Hal ini dianggap mendasar
karena bangunan mazhab pemikirannya berangkat dari sini. Seperti yang
diungkapkan sendiri oleh Ali Syari’ati bahwa metode sama dengan jalan.
Berpikir yang benar dengan metode yang
benar seperti jalan yang benar. Seseorang yang pincang tetapi memilih jalan
yang lurus dan benar, akan sampai ditujuan lebih cepat dari pada seorang juara
lari yang memilih lari di jalanan berbatu dan berkelok.[18]
Setiap muslim harus memahami Islam
secara benar. Untuk memahami Islam secara benar, menurut Syari’ati, tidak dapat
dengan menggunakan pendekatan Eropa yang di dasarkan pada biologi, psikologi
dan sosiologi. Saran Ali Syari’ati Cuma sebatas mengetahui metode dan
pengetahuan Eropa, tetapi tidak boleh mengikutinya.[19] Hal
ini disampaikan Syari’ati karena dia melihat bahwa metode pemikiran Barat
dibangun atas materialisme[20].
Menurut Syari’ati, Islam bukanlah agama
yang berdimensi satu[21].
Melihat Islam dari satu dimensi sama artinya dengan melihat satu dimensi lampu
kristal dan bahkan al-Qur’an sekalipun mengandung banyak dimensi.[22]
Sama dengan metode mengenal seseorang
dengan menggunakan metode pendekatan yang pertama dengan mengenali berbagai
pemikiran dan gagasannya, yang kedua dengan mempelajari kehidupannya dari awal.
Begitu juga dengan metode mengenali Islam. Maka cara yang tepat untuk mengenali
Islam adalah dengan mempelajari al-Quran yang merupakan kumpulan pemikiran dan
gagasan serta ilmu suatu kepribadian yang dinamakan Islam. Yang ke dua adalah
dengan mempelajari sejarah dari Islam yang menggambarkan berbagai perubahan
yang terjadi dari awal misi kenabian hingga hari ini.[23]
Selain dari metode di atas, Syari’ati
juga mengembangkan tipologi pendekatan untuk mengenali agama-agama. Yaitu:
a.
Tuhan dari agama yang bersangkutan
b.
Kitab suci dari agama yang bersangkutan
c.
Nabi agama yang
mendeklarasikan misi agama yang bersangkutan.
d.
Bentuk dan watak orang-orang yang dihimbau oleh agama yang
bersangkutan yang berarti termasuk kalangan dan lapisan orang dari strativikasi
sosial orang yang dihimbau.
e.
Para pengikut pilihan dari masing-masing agama yang
merupakan model dan wakil umat yang dididik oleh agama yang bersangkutan yang
kemudian menyampaikannya kepada masyarakat dan sejarah.[24]
Sebagai seorang sosilog, Ali Syari’ati
menemukan dan menyusun semacam sosiologi agama atas dasar Islam. Masalah baru
yang ditemukannya adalah berkenaan dengan asal usul ilmiah tentang sejarah dan
sosilogi yang mencerminkan adat dan kebiasaan Nabi. Persoalan penting yang
diangkat Ali Syari’ati adalah hijrah. Hijrah yang dipahami oleh dalam
istilah sejarah sebagai perpindahan suku primitif karena sebab-sebab geografis dan
politis serta hijrah yang dipahami umumnya kaum muslimin sebatas
perpindahan sahabat Nabi dari Makkah ke Madinah sebatas satu peristiwa sejarah,
bagi seorang Syari’ati merupakan suatu falsafah yang mendalam dan prinsip
sosial yang cemerlang. Hijrah adalah faktor yang sangat menentukan dan
mempengaruhi sebuah sejarah peradaban. Setiap suku yang primitif akan mampu
berubah cuma dengan melakukan hijrah sebagai syarat utamanya.[25]
Selanjutnya Ali Syari’ati juga
memaparkan bahwa Islam adalah satu-satunya mazhab pemikiran yang memandang
massa sebagai faktor utama perubahan sosial. Hal ini bertentangan dengan mazhab lain yang beranggapan
faktor utama perubahan sosialnya adalah kehadiran seorang tokoh. Selanjutnya
Ali Syari’ati menyimpulkan faktor-faktor perubahan sosial yaitu, tokoh, tradisi
dan kebetulan, serta massa.[26]
2.
Islam Ideologis sebagai sebuah mazhab Pemikiran.
Ali Syari’ati mengutip pendapat Gaston
Bachelard yang disejajarkannya dengan Descartes dan Plato tentang bahasa
ekspresi sebuah gagasan yang menentukan keshahihannya. Katanya, “ … manakala
sebuah gagasan dapat dikonseptualkan dalam bentuk geometris, ia telah menemukan
bahasanya yang tepat guna mengekspresikan dan menjelaskan dirinya sendiri”.
Gagasan apapun yang bisa dikonseptualkan dan kemudian diekspresikan dalam
bentuk geometris dengan sendirinya membuktikan gagasan itu shahih dan logis.
Ini artinya setiap mazhab pemikiran mengupayakan pengekspresian yang geometris
dan matematis untuk membuktikan kebenarannya. Syari’ati tetap mengakui bahwa
tidak semuanya dapat diekspresikan secara geometris seperti agama yang
membutuhkan argumentasi dan perbandingan-perbandingan sebagai bahasa
ekspresinya. Tetapi ekspresi geometris sesuatu akan membantu orang lain dalam
memahami kebenaran sebuah gagasan.[27]
Ali Syari’ati menjelaskan antara
sesuatu yang dipahami dengan sesuatu yang dipelajari. Seseorang mungkin saja
tahu banyak hal tentang sesuatu apakah seorang tokoh atau agama dan pemikiran,
tetapi belum tentu seseorang itu memahami seorang tokoh, agama atau sebuah pemikiran.
Menurut Syari’ati, “ memahami berarti mempunyai perasaan yang mendalam terhadap
suatu agama atau ideologi, menemukan spirit dan makna yang tersembunyi dalam
sebuah gagasan”.[28]
Dari pernyataan di atas, Syari’ati
menjelaskan antara Islam sebagai sebuah budaya dan Islam sebagai sebuah
ideologi. Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah sebagai satu spesialisasi
ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki seseorang berkenaan dengan mazhab
pemikiran sebagai satu sistem keyakinan
dan bukan sebagai satu kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah
informasi-informasi, teori ilmiah dan lain sebagainya yang belum tentu menjadi
spirit, ruh atau terjiwai oleh seseorang.[29]
Seseorang yang memiliki mazhab
pemikiran kata Syari’ati , maka semua tindakan, gagasan, baik ekonomi, politik,
tujuan, arah dan lain sebagainya maka akan berjalan seirama dan utuh serta padu
karena dia adalah ruh dan spirit dalam semua hal yang ada dan lahir daripada
seseorang itu.[30]
Ketika Islam menjadi sebuah mazhab
pemikiran, maka ruh Islam akan menjiwai semua yang timbul pada diri seseorang
baik hal ihwal politik, ekonomi, sastra dan lainnya. Oleh karenanya tidak akan
kita temui istilah seni untuk seni, ilmu untuk ilmu dan lain sebagainya yang
kering dari muatan tanggung jawab ruh Islam.Kemudian Syari’ati juga menjelaskan
bahwa setiap ideologi memiliki pijakan infrastruktur yang merupakan sistem
penopang dasar yang darinya semua gagasan berkembang. Infrastruktur itu adalah pandangan dunia. Contoh dari
pandangan dunia itu adalah pandangan keyakinan seseorang apakah monoteistis,
matrealistis, multiteistis dan lain sebagainya. Jadi pandangan dunia itu adalah
pemahaman yang dimiliki seseorang tentang “wujud” atau “eksistensi”. Idelogi
berkembang dari konteks menyeluruh pandangan dunia. Seseorang yang yakin bahwa
dunia ini mempunyai pencipta yang sadar yang memiliki kehendak, dan semua yang
dilakukan akan diperetanggung jawabkan kepada-Nya, maka dia memiliki pandangan
dunia yang religius. Berdasarkan keyakinan ini seseorang itu akan mengatakan: “
Jalan hidup saya mesti begini, akan harus mengerjakan ini “.[31]
Inilah bangunan ideologi seseorang itu.
Syari’ati juga menjelaskan bahwa ada
tiga hal yang menjadi tiang menegakkan mazhab pemikiran yaitu pandangan tentang
manusia, sejarah, dan masyarakat yang landasannya adalah pandangan dunia
seseorang.[32]
Syari’ati melakukan analisis dan
penafsiran terhadap doktrin Syi’ah[33]
yang disalah artikan penguasa dan agamawan pro penguasa. Konsep-konsep itu bagi
Syari’ati memiliki nilai revolusinaer seperti gaibnya Imam bukanlah menyebabkan
Iran harus menunggu begitu saja kehadiran Imam untuk memperbaiki kekacauan,
tetapi memiliki makna bahwa masing-masing orang memiliki tanggung jawab pribadi
dan sosial untuk memperbaiki dalam jalan yang diyakini mengantarkan pada
keshalehan.
E. Upaya-upaya Ali Syari’ati dalam Menyebarluaskan Ide dan Gagasannya, Reaksi Terhadap Gagasannya, dan Kontribusinya dalam Revolusi Iran
Syari’ati sebelum keberangkatannya ke
Paris, aktif bergabung dalam kelompok gerakan nasionalis Dr. Mosaddeq, dia aktif
dalam kegiatan-kegiatan demonstrasi dan rapat umum pro Mosaddeq. Di Masyhad, 16
nasionalis penyembah Tuhan yang memadukan sosialis dengan Islam bergabung
dengan Partai Iran (Hezb-e Iran), yang merupakan anggota dari Front Nasional
Mosaddeq, pada tahun 1951 dan Syari’ati senantiasa bergabung sampai ketika
Gerakan Sosialis Pemnyembah Tuhan memisahkan diri dan membentuk Liga Kemerdekaan Rakyat Iran ( Jam’iyat
Azadi-e Mardom-e Iran), bahkan sampai pasca kudeta 1953, Gerakan Nasionalis
membentuk Partai Baru yang bernama Partai Rakyat Iran (Hezb-e Mardom Iran),
Syari’ati tetap menjalin hub erat dan memberikan sumbangan berharganya akan
perjuangan.[34]
Pasca kudeta Mosaddeq, kebebasan dibungkan, dan Ali Syari’ati tetap tegar dan bergabung
dengan organisasi rahasia Gerakan Perlawanan Nasional (NRM). Pada tahun 1954,
dia mengorganisasi demonstrasi memperingati Mosaddeq. Atas tuduhan agitasi,
Syari’ati dipenjarakan selama 17 hari dan pada tahun 1955 setelah dia masuk
pada Fakultas Sastra, dia aktif mengembangkan bakatnya dan menjadi seorang
editor koran khorasan yang
menyebabkan dia cukup terkenal di lingkungan politik dan intelektual. Pada
1957, Syari’ati kembali ditahan bersama empat belas anggota NRM dan
diterbangkan keTeheran dan baru dibebaskan satu bulan kemudian. [35]
Pada tahun 1958,
Syari’ati menikah dengan Pouran dan
setahun sesudah itu Syari’ati berangkat ke Paris melanjutkan studi..Selama di
Paris, dia juga aktif dalam kegiatan organisasi di lingkungan mahasisiswa Iran
pro Mosaddeq, maupun di lingkungan orang-orang Aljazair yang pro dengan Front
Pembebasan Nasional yang sedang berjuang melawan kolonialisme Prancis di
Aljazair. Syari’ati ikut dalam perdebatan
Mahasiswa Iran mengenai apa yang perlu
dilakukan di Iran. Syari’ati juga sangat aktif menulis terlebih dia diangkat
sebagai editor majalah Fron Nasional.[36]
Agaknya hal inilah menyebabkan dia ditahan ketika dia pulang dari Paris antara
Turki-Iran setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1964.
Sekembalinya Syari’ati dari Paris
Syari’ati berusaha menebarkan kesadaran revolusioner di kalangan intelektual
Iran dan yang menjadi sasarannya adalah massa di perguruan tinggi Masyhad.
Namun dia agak lambat untuk diterima di Masyhad dan baru pada tahun 1957 dia
mengajar di sana dan dalam waktu cepat dia menjadi dosen yang populer. Pada
tahun 1969, Syari’ati menerbitkan sebuah buku Eslamshenasi yang
merupakan karangan yang sangat kritis yang menyerang ulama konservatif dan
tokoh yang terbaratkan. Dia mendapat tantangan keras dari ulama dan menuduh
karangannya merupakan karangan sesat bahkan seorang ulama yang bernama Muhammad
Ali Anshari, menulis, bahwa selama seribu tahun terakhir sejarah Islam dan
Islam Syi’ah, tidak pernah ditemui seorang musuh yang lebih berbahaya,
mengerikan dan bandel, selain Ali Syari’ati.[37]
Pada tahun 1971,
Syari’ati meninggalkan jabatannya di Masyhad dan kemudian intens di pusat
Lembaga Keagamaan yang bentuk pada tahun1969 yang bernama Hosseiniyeh
Ershad. Di sini dia menyebarkan gagasan
revolusionaernya dan membangkitkan kesadaran kaum muda untuk waktunya melakukan
aksi. Beberapa kejadian aksi penolakan terhadap pemerintah terjadi yang
dihadapi pemerintah dengan kekerasan dan kekejaman. Ali Syari’ati pernah
ditangkap dan dipenjara selama delapan belas bulan di penjara Komiteh setelah
sebelumnya Syari’ati melakukan usaha bersembunyi dan dipaksa menyerah oleh
pemerintah dengan menyandera ayah dan iparnya.[38]
Pada tahun 1975, Syari’ati dibebaskan
dan tetap dalam pengawasan yang ketat. Seluruh buku dan tulisan Syari’ati dilarang beredar dan siapa saja yang
memiliki bukunya akan ditangkap. Namun tidak beberapa kemudian sebuah tulisan
lama Syari’ati yang berjudul Ensan, Eslam va Maktaba-ye Maqrebzamin (Manusia,
Islam dan Mazhab Pemikiran Barat) diterbitkan oleh pemerintah secara resmi dan
berkala. Dalam artikel ini argumennya disetting demikian rupa oleh pemerintah
yang melahirkan kesan Syari’ati telah meninggalkan gagasan sosialis Islam dan
revolusionernya.[39]
Tahun 1977,
Syari’ati meninggalkan Iran yang tidak diketahui apa sebenarnya yang ada dalam
benak Syari’ati. Agen Keamanan
Iran memburu Syari’ati dan pada bulan Juni 1977 jasad Syari’ati ditemukan
tergelak di lantai tanpa nyawa.
Namun kemudian setelah meniggalnya
Syari’ati, bukan berarti semangat revolusioner kaum muda tidak mati bahkan
semakin bergelora. Setiap khutbah Jumat dan setiap lorong ilmiah, gagasan
Syari’ati menjadi referensi utama. Kontribusi pemikiran Syari’ati ini menjadi
faktor yang cukup menentukan bergulirnya gelombang massa turun aksi pada tahun
berikutnya yang menggulingkan kekuasaan shah yang dipimpin oleh Ayatullah
Khomeni.
F. Karya dan ide Ali Syari’ati
Ali
Syari’ati telah melahirkan ribuan tulisan dan rekaman-rekaman ceramah yang
disampaikannya pada setiap kesempatan. Pemikirannya sangat pilosofis namun
tetap realistis sehingga kondisi real Iran mampu menterjemahkannya dan
menjadikannya sebagai suluh perubahan yang revolusioner. Sebagai seorang
sosiolog, dia telah membuktikan kekuatan nilai tauhid dan menjadikannya sebagai
energi yang maha dahsyat.
Bagi
Syari’ati, hidup adalah iman dan jihad sehingga dia sering bertutur “setiap
tempat adalah Karbala dan setiap saat adalah jihad”. Tidak ada pilihan bagi
seorang muslim kecuali menyadari eksistensi diri dan menyadarinya. Ke-Islaman
yang menjadi perhatiannya bukanlah ke-Islaman orang ‘alim (intelektual), dan
Islamnya orang awam. Yang penting adalah ke-Islamannya orang yang sadar dan
ke-Islaman orang yang ingat.
Pada
setiap karya tulis dan ceramah yang disampaikan dengan fasih dan serat dengan
muatan ideologis, dia selalu berangkat pada aspek ontologis dan epistim
filosofis yang dibangun atas basis tauhid. Beberapa karyanya yang fundamental
yang banyak beredar adalah diantaranya:
a.
Haji, yang merupakan rumusan pengalaman yang diperolehnya
dari pengembaraan spiritualnya sewaktu melaksanakan ibadah haji
b.
Islam Agama protes,
yang berisi gagasan cerdas ideologis Islam terhadap berbagai fenomena social
termasuk politik
c.
Agama Melawan Agama, yang berisi penjelasan yang mendalam
tentang bahwa peradaban manusia dalam sejarahnya selalu terdapat pergulatan
antara keyakinan monotheis dan politheis, antara kezaliman dan yang dizalimi,
antara kebenaran dan kebatilan dan lain sebagainya.
d.
Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-sesat Pikir Barat
lainnya, yang berisi penjelasan yang menelanjangi kerapuhan dan kebobrokan
serta kekeliruan Marxis dan pemikiran Barat yang dilandasai oleh pemikiran
pilosofis smaterialistik.
e.
Abu Zar al-Ghiffari, yang merupakan karya Ali Syari’ati yang
mengungkap kebesaran Abu Zar bahkan Syari’ati sering mengidentifikasikan
dirinya sebagai Abu Zar.
f.
Dan banyak lagi buku-buku baik yang merupakan kumpulan
tulisan dan ceramahnya, maupun karya terjemahan karya pemikir besar baik Barat
maupun Timur yang diterjemahkannya yang semuanya merupakan hasil kreasi manusia
tauhid yang bernama Ali Syariati.
G. Penutup
Sejarah peradaban manusia merupakan
satu rangkaian yang tidak terpisahkan dan pemaknaan serta pemahaman yang benar
sangat diperlukan sehingga sejarah bukanlah hannya sekedar gudang-gudang
informasi kejadian masa lalu.
Mobilitas pribadi dan sosial sangat
diperlukan dalam membingkai sebuah peradaban. Kehadiran tokoh yang tercerahkan
membantu terciptanya sebuah perubahan peradaban disetiap belahan dunia dan
massa adalah sebagai faktor utama dari perubahan itu.
Islam harus dijadikan sebagai sebuah ideology
yang hidup yang tidak hanya sebagai pengetahuan semata, tetapi harus dipahami
dengan benar.
Ukuran kebenaran
pemahaman ke-Islaman kita adalah pada sejauh mana pemahaman ke-Islaman itu
mampu memberikan kemamfaatan dalam kehidupan kita terutama pada kehidupan ruhaniah yang bebas dan
merdeka yang hannya mau tunduk dihadapan Allah swt.
Wa Allahu a’lamu
bi al-shawabi
[1] Mazinan adalah sebuah dusun kecil yang
terletak di pinggir gurun provinsi Khurasan. Lihat: Ali Rahnema, Ali
Syari’ati Guru Penceramah Pemberontak, dalam Buku: Para Perintis
Zaman Baru Islam, Editor Ali Rahnema , Bandung: Mizan,
[2] Ali
Syari’ati, Islam Agama Protes,
Penj: Laleh Bakhtiar dan Husen Shaleh. Bandung: Pustaka Hidayah, Buku
ini yang merupakan kumpulan dari rekaman dan tulisan ceramah dan kuliah
Ali Syari’ati.
[4] Di antara filosof, sosiolog, dan
Islamolog yang dianggap Ali Syari’ati memberikan pencerahan pemikiran pada
dirinya adalah Jaques Berque yang membantu Syari’ati mencapai pandangan tentang
sosiologi agama, Sartre tentang prinsip-prinsip kebebasan manusia dari
peninidasan, Jean Cocteau tentang pandangan sejauh mana jiwa manusia bisa
berkembang, dan Alexis Carel dengan pandangan keselarasan antara ilmu
pengetahuan dan agama.
[11] Bahkan pada tahun 1935, Reza Khan
pernah melarang guru-guru dan murid-murid wanita memakai cadar yang merupakan
salah satu budaya Islam Iran. Lihat: Ali Syariati , Ideolpgi Kaum
Intelektual Suatu Wawasan Islam, Penyunting: Syaiq Basri dan Haidir Bagir, Bandung: Nizam,.
[15]
Raushanfikr, secara harfiah
diartikan dengan “pemikir tercerahkan”. Pada awalnya istilah ini Cuma digunakan
kepada kelompok intelektual modernis liberal yang memperoleh pengaruh dari
filosof Eropa abad 18. Kelompok ini profesional, dan terpanggil untuk melakukan
perubahan-perubahan politik, sosial, dan kultural. Istilah ini berbeda dengan mullah
yang Iran merupakan kelompok ulama
Syi’ah konservatif. Bagi Ali Syari’ati Istilah raushanfikr berkembang
meliputi para ulama yang berpihak pada revolusi. Lihat: Ali Syari’ati, Krtik
Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir BaratLainnya,Penj : Husin Anis
al-Habsyi dan Penyunting: Jalaluddin Rahmat , Bandung: Mizan
[16] Lihat : W.M.Floor, The Office of
Kalanter In Quyar Persia, Journal of The Economic and social History of The
Orient (Jesho),
[17] Lihat: Michael M. Fischer, Iran,
From Religious Dispute to Revolution, Harvar University Press,
[18] Lihat: Ali Syari’ati, Islam Agama Protes dan Ali
Syari’ati, Sosiologi Islam, Terj: Parsi Inggris oleh Hamid Algar,
Inggris Indonesia oleh Saifullah Mahyudin ,Yokyakarta: Ananda,
[20] Untuk hal ini Ali Syariati merasa perlu
menulis sebuah buku khusus untuk menghantam Marxis dan Barat. Lihat: Ali
Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya.
[21] Yang dimaksudkan Syariati adalah tidak
boleh memahami Islam Cuma dari dimensi mistisisme saja, akan tetapi perlu
menggunakan pendekatan metode sosiologi dan sejarah terutama Islam yang
berkenaan dengan cara hidup seorang muslim di muka bumi. Baca: Ali Syari’ati, Islam
Agama Protes
[22] Dimensi al-Qur’an yang sedikit
diketahui menurut Syari’ati adalah aspek manusia, dimensi sosial, sejarah dan
psikologi.
[26] Tradisi yang dimaksudkan di sini adalah
hukum-hukum dan adat istiadat manusia dan alam yang tidak dapat diubah yaitu
berbentuk sunatullah. Misalnya untuk menundukkan sebuah peperangan memerlukan
kekuatan yang lebih dari kekluatan lawan.Lihat : Ibid,h.
[30] Ali Syari’ati mengumpamakannya dengan
sebuah galaksi yang diputari oleh planet-planet. Semua planet bersumbu pada
pusat galaksi dan bergerak seirama dan selaras dan searah. Ibid., h
[33] ‘Itrah ( para
pengganti Nabi Suci yang shaleh),‘Ishmah (kesucian para Imam dari
dosa),Wishayah (pengangkatan washi dan wali oleh Nabi Suci),Wilayah (menerima
kepemimpinan seorang Imam),Imamah (kepemimpinan orang-orang shaleh),Taqiyah
(menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah agama),Sunnah (praktik Nabi
Suci),Ghaybah (gaibnya Imam Mahdi),Syafa’ah (pertolongan 14 orang suci di
akhirat kelak),Ijtihad,Do’a,dan Taqlid. Ibid.,
h60-61
[34] Ali Rahnema, Ali Syari’ati Guru
Pencerama Pemberontak, dalam Buku: Para Perintis Zaman Baru Islam,
Editor Ali Rahnema
, Bandung: Mizan,
==>Dari: Ahmad rivauzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar