Selasa, 24 September 2013

MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN ISLAM

Salah satu masalah besar abad 21 ialah kesadaran akan identitas suatu bangsa atau suku bangsa. Hal ini dsebabkan oleh adanya dua gelombang perubahan sosial, yaitu globalisasi dan demokrasi. Globalisasi yang menjadi pokok permasalahan bukan hanya bagi orang dalam bidang perdagangan, politik, ekonomi, tetapi menjadi pokok permasalahan dalam bidang filsafat dan tentunya pula dalam bidang pendidikan. Banyak pakar yang telah membahas mengenai globalisasi, nilai-nilai positif maupun negatif, bahkan ada yang sangat sekeptis tentang pengaruh globalisasi dalam kehidupan manusia. Namun demikian, kenyataan hidup manusia abad 21 menunjukkan terjadinya transformasi sosial yang belum pernah di alami oleh umat manusia untuk lepasa daru arus yang dapat mengeliminir atau memaginalisasikan identitas suatu masyarakat, duku bangsa, bahsakn identitas seseorang. Pada tingakat global, dismaping adanya kekuata-kekuatan dunia seperti dalam bidang pilitik dan perdagangan, muncullah pula kekuatan-kekuatan yang menginginkan orang mempunyai kesadaran akan identitasnya.[1]
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat di lihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beraneka ragam dan luas. Sekarang ini, jumlah  pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 ribu pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Terdiri dari 300 duku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga mengenal agama dan kepercayaan yang beragam seerti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan.
Keragaman ini di akui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan sekarang yang dihadapi bangsa. Korupsi, kolusi, nepotisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, sparatisme, peruskana lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagaian dari problem multikulturalisme itu. Contoh yang m\lebih konkrit dan selalu menjadi pengalaman pahit bagai bangsa ini, ialah terjadinya pembunuhan besar-besar terhadap masa yang ikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998-2003. rangkaian konflik tidak hanya menrenggut korban yang sangat besar, akan tetapu juga menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30masjid. Perang etnis antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2.000 nyawa manusia melayang sia-sia. [2]
Pertentangan yang terjadi di negeri ini beberapa tahun terakhir itu mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural bagi masyarakat. Meskipun bangsa ini mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya tidak. Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri ini sehingga memunculkan apa yang disebut link and macth. Dengan demikian, pendidikan tidak lebih dari pabrik raksasa yang menghasilkan tenaga trampil, namun biaya murah. Pada masa orde baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan yang ada hanya kebudayaan nasional. Warna lokal dianggap sesuatu yang sekunder. Padahal lokalisme dalam pendidikan multikultural merupakan bagian yang paling penting. [3]
Wacana tentang pendidikan multkulturalisme ini dimaksud untuk merespon fenomena konflik etnis, sosial budaya yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat multikultural, wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam yang suatu saat bisa memunculkan akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. [4]
Maka menjadikeharusan bagi kita bersama untuk memikirkan ulaya pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat, bahwa knflik itu bukan suatu hal yang baik untuk di budayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu memberikan tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan mendisain materi, motode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan akan pentingnya sikap saling toleran menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan multikultural. Dari latar belakang masalah tersebut selayaknya kita mengembangkan paradigma baru di dunia pendidikan, yakni paradigma pendidikan multikultural, paradigma pendidikan multikultural tersebut pada akhirnya bermuara pada terciptanya sikap siswa tau peserta didik yang mau memahami, menghormati, menghargai perbedaah budaya, etnis, agama, dan lainnya yang ada di masyarakat. [5]
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian yang terintegral dari pendidikan nasional. Penataan dan pengaturan atas pendidikan Islam merupakan hal yang inheren dengan pendidikan nasional, yang artinya ketika ada wacana baru yang menyangkut kebijakan pendidikan nasional secara tidak langsung akan berimplikasi pada pendidikan Islam. Sebagai mana yang telah di singgung atas upaya membangun pandangan multikultural dimasyarakat dengan melibatkan secara aktif kalangan pendidikan sebagai ihtiar awal dalam merajut kebersamaan ditengah pluralitas agama, budaya  yang menjad PR besar semua elemen bangsa. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya konflik keagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman keberagamaan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena pemahaman keberagamaan ini akan membentuk pribasi yang anti pati terhadap pemeluk agama lainnya.
Untuk mencegah keragaman keberagamaan masyarakat yag eksklusif ini tidak dapat terus berkembang, maka perlu di ambil beberapa langkah prefentif. Langkah yangperlu diperhatikan dan dilakukan adalah membangun pemahaman gerakan keberagamaan dan dilakukan adalah mengubah pemahaman gerakan keberagamaan yang lebih inklusif, pluralis, multikultural, humanis, dialogis persuasif, kontekstual, substansif, dan aktif sosial, sangat perlu untuk dikembangkan melalui pendidikan, media masa dan interaksi sosial .
Nasionalisasi multikulturalisme meskipun sapai hari ini masih dirasakan sulit oleh beberapa kalangan akan tetapi bukan suatu yang mustahil untuk kita lakukan. Urugensi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam sangatlah ekplisit. Bagaimana hal-hal yang menyangkut sistem pendidikan dapat secara gradual untuk di perbaharui, baik dari sisi materi, metode, kurikulum dan hal-hal lain yang mengitarinya meskipun itu sulit dilakukan.
Islam pada dasarnya memliki pandangan humanisme yang mendasar sebagai sistem nilai (value sistem) dalam membangun relasi social, dan memiliki kerangka acuan yang jelas dalam membangun pranata social kehidupan dimana keadilan dan kemerdekaan serta perdamaian menjadi ruh dan semangat di setiap simpul peradaban yang mensejarah yang mengalir dalam realitas kehidupan yang senantiasa berubah. Menghadirkan Islam yang sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatal lil alamin), bukan lah suatu hal yang mudah untuk kita lakukan, akan hal itu bukan hal yang mustahil untuk diupayakan. Layaknya agama-agama memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Sejarah yang mengalir melewati lorong-lorong waktu telah membentuk karekter agama-agama. Karena agama tidak hadir pada ruang h ampa, akan tetapi mengakar dengan tradisi dan tata nilai bidaya dimana duatu agama diturunkan, merupakan konstruksi nilai Ilahiah dan Insaniah, Ifrodiah dan Ijtimaiah yang dijadikan landasan inspirasional sekaligus dalam membangun tata kehidupan social.


[1] Har Tilaar, Kekuasaan Dan Pendidikan, Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Cultural. Indanesiatera, Magelang 2003. Hack 146
[2] M Ainul Yaqin, Pendidikan Multicultural, Cross Cultural Understanding Untuk Demokrasi Dan Keadilan, Yogyakarta, Pilar Media Hal 3-4
[3] Chairul Mahfud, Pendidikan Multicultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2006 Hal Xi-Xi

Merancang Strategi Pendidikan Islam Masa Depan


  "Berangkat dari pengertian di atas ada dua misi yang harus ditempuh dalam pendidikan Islam, pertama menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu mengetahui ilmu-ilmu Islam sekalugus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya. Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist. Kedua, memberikan bekal kepada peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang nyata, serta suvive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara-cara yang benar."
                Untuk kepentingan ini, pendidikan Islam harus mampu mengakses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan Islam tidak boleh mengasingkan diri dari realitas kehidupan yang senantiasa berkembang dan terus berubah sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Maka dalam kerangkan ini dituntut adanya stategi dan taktik dalam mengelola pendidikan Islam. Strargei ini mutlak harus disiapkan agar pendidikan Islam tidak terlibas oleh hegemoni perubahan itu sendiri.

2. Visi dan Orientasi Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata[iv], dapat dijumpai sekurang-kurangnya delapan penyakit yang menimpa masyarakat modern. Pertama desintegrasi antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berakibat pada terjadinya pengkotak-kotakannya akal fikiran manusia dan cenderung membingunkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (splite personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai ketuhanan. Ketiga dangkalnya rasa keimanan, ketaqwaan, serta kemanusiaan, sebagai akibat kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima, cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang melanda kehidupan. Keenam, mudah stres dan frustasi, sebagai akibat dari terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya, tanpa dibarengi sikap tawakal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan terasing di tengah-tengah keramaian (lonely), sebagai sifat individualistik, dan kedelapan kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang.
Ke- delapan pont yang dikemukakan oleh Abuddin Nata tersebut merupakan akibat dari kehidupan yang telah begitu jauh terhegemoni oleh budaya global yang didominasi oleh peradaban Barat. Sekularisasi ilmu pengetahuan adalah ciri khas dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal. Demikian juga munculnya sifat hedonistik dan individualistik merupakan implikasi dari kapitalisme yang materialistik.
Dampak globalisai yang begitu kuat harus diantisipasi oleh dunia pendidikan khususnya Islam jika tidak ingin terlibas oleh arus hegemoniasi budaya global Barat. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menfilter, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu tanpa terhegemoni oleh kekuatan eksternal.
Berkenaan dengan hal di atas para pengelola pendidikan Islam harus menyadari terhadap ancaman ini. Orientasi pendidikan Islam yang sejak awal tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlaq dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah tidak boleh bergeser. Disamping itu juga harus dipikirkan upaya menciptakan manusia yang kreatif, inovatif produktif dan mandiri sehingga mempunyai ketegaran dalam menghadapi tantangan tanpa mudah terhegemoni. Visi pendidikan Islam harus mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan Tauhid. Di samping itu pendidikan Islam harus mampu memberikan filter dan arahan dalam penyerapan ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.


3. Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
                Ide Islamisasi ilmu pengetahuan atau lebih tepatnya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer lahir berangkat dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai dan tidak universal. Prof. M. Naquib Al-Attas yang selama ini sebagai penggagas konsep Islamisisasi Ilmu Pengetahuan sebelum gagasan ini dipopulerkan oleh Ismail al-Faruqi, menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan modern sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman Barat.[v]
Sejalan dengan Al-Attas, Al-Faruqi menjelaskan bahwa klaim Barat yang mengatakan sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan sifatnya yang netral yakni sengaja menghindari dari pertimbangan dan kecenderungan manusia dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkan berbicara untuk dirinya sendiri adalah klaim yang kosong dengan kata lain bohong, karena tidak terdapat satu persepsi teoritis bagi segala fakta tanpa persepsi ciri dan hubungan aksiomanya.[vi] 
Pemikiran Barat yang paling banyak mempengaruhi terhadap kelahiran ilmu pengetahuan modern adalah pemikiran sekularisme dan materialisme. Sekularisasi di sini melibatkan tiga komponen terpadu; “penolakan unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik, dan nilai-nilai yang tidak mutlak atau relatif, artinya penolakan terhadap adanya nilai-nilai yang mutlak”. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.[vii]
Samsul Nizar mengidentifikasi ciri metode sains Barat; antara lain pertama,  rasionalisme filosofis yang hanya merupakan persepsi inderawi; kedua, rasionalisme sekular yang cenderung lebih bersandarkan pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar; ketiga, empirisme filosofis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa, dan menelantarkan aspek non empiris sebagai zat supranatural; keempat, sistem etika Barat bercorak antroposentris yaitu menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya sebagai sosok individu yang merdeka tanpa batas.[viii] Ciri-ciri tersebut sangat berbeda dengan metode sains Islam yang mengakui otoritas, intuisi, dan wahyu sebagai sumber ilmu. Demikian juga etika Islam bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah yang sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Metode sains Barat yang sekular tersebut bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia yang merupakan worldview Islam, tetapi juga memutus ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang hakiki. Ilmu yang bermasalah ini dapat membawa pada kekacauan dalam kehidupan manusia dan bukan kedamaian dan keadilan. Ilmu yang nampaknya benar tetapi lebih produktif ke arah kekeliruan dan skeptisme. [ix]
                Atas dasar inilah ilmu pengetahuan kontemporer tidak bisa diadopsi begitu saja tanpa disibghah dengan nilai-nilai Islam. Tugas Islamisasi ilmu menurut Al-Attas mencakup; pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern, konsep-konsep, perkiraan-perkiraan, lambang-lambangnya, aspek empiris dan rasionalnya, serta apa saja yang mengenai nilai-nilai dan etika, tafsiran tentang asal muasal, teori tentang ilmu, perkiraan mengenai dunia eksternal, keseragaman alam, dan kerasionalan proses-proses natural, serta teorinya tentang jagad raya, klasifikasi sains, batasan-batasan dan saling hubungan antara sains dengan lainya dan hubungannya-hubungan sosial.[x] Sedangkan menurut Al-Faruqi, islamisasi dapat dicapai melalui pemaduan ilmu baru ke dalam khazanah Islam dengan membuang, menata, menganalisis, menafsirkan ulang, dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.[xi]
                Cakupan Islamisasi ilmu di atas menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu utamanya adalah urusan epistemologi dan metodologi, dan bekerja menciptakan ilmu baru melalui penggabungan ilmu dengan cara tertentu berdasarkan sumber-sumber Islam dan dihasilkan melalui metode-metode riset dan teori yang membangun usaha, ditujukan untuk memulihkan kegiatan saintifik secara umum dan sain sosial secara khusus, untuk memperbaiki jalur penggabungan antara wahyu dan observasi nyata, ia ini bukanlah proses penambahan dan pengurangan secara sepele tetapi sebuah proses penyandingan kreatif yang serius.[xii]

4. Penguatan Woldview Islam
                Telah dimaklumi bahwa problem utama dari ilmu pengetahuan kontemporer adalah problem wodlviewAdopsi pengetahuan modern tanpa memperhatikan aspek voldwiew jelas akan menghasilkan keterkikisan.
                Istilah woldview menurut Alparslan Acikgence sebagaimana dikutip oleh Hamid Fahmi Zarkasyi diartikan sebagai asas yang melandasi setiap aktifitas manusia termasuk aktifitas ilmiyah dan teknologi.[xiii] Sedangkan Islamic woldview menurut Al-Attas diartikan sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati dan menjelaskan hakekat wujud.[xiv] Dari woldview inilah akan lahir ilmu pengetahuan.
                Penguatan woldview berarti penguatan pemahaman terhadap Islam dalam arti seutuhnya. Islam dijadikan sebagai tolok ukur dalam setiap aktivitas dan gerakan. Islam sebagai landasan berfikir, bertindak dan beramal, termasuk didalamnya sebagai landasan dalam menjelajah pengetahuan. Dengan ini pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang terarah sesuai dengan visi dan misi Islam.

5. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
                Peran lembaga pendidikan Islam adalah pelaksana operasional dalam menjalankan fungsi pendidikan Islam. Dengan demikian misi lembaga pendidikan Islam  harus sejalan dengan  misi pendidikan Islam yakni membentuk manusia beradab yaitu manusia yang sadar atas hak dan kewajiban atas Tuhannya, atas dirinya dan atas lingkungannya. Karena itulah manajemen pendidikan Islam harus berangkat dari pemikiran bagaimana menciptakan manusia beradab.
                Dalam kerangka mengemban misi pembentukan manusia beradab, ada tawaran yang bisa diadobsi dalam opersionalisasi Lembaga Pendidikan Islam, yaitu manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) atau School Based Manajement (SBM). Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku). Esensi MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. [xv]
                Otonomi di sini diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Sedangkan fleksibilitas, dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah.  Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa,  karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.[xvi]
                Konsep MPMBS ini patut diterima oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan pendidikan selama ini terlalu banyak dicampuri oleh kepentingan politik penguasa khususnya penguasa Orde Baru. Kebijakan pendidikan orde baru yang cenderung bersifat homogenisasi serta berorientasi pada teknologi pendidikan telah melenyapkan kekhasan dari lembaga pendidikan Islam. Karena itulah tawaran MPMBS adalah mengembalikan Lembaga Pendidikan Islam pada habitat semula dengan segala kekhasannya. Dengan MPMBS lembaga pendidikan Islam di Indonesia seharusnya dapat menata diri sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.

6. Kilas Balik
                Setelah mencermati kerangka ideal strategi pengelolaan organisasi pendidikan Islam patut kiranya menelaah kondiri lembaga pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Kondisi organisasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum sembuh dari kondisi patologis baik yang disebabkan oleh pengaruh global yang didominasi oleh peradaban Barat, maupun kondiri lokal akibat dari kebijaksanaan pendidikan Orde Baru  yang sentralistik. Kondisi patologis tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a.        Masih kuatnya pola dikotomi ilmu agama dan umum yang merupakan ciri khas dari pengembangan ilmu yang dipengaruhi oleh woldview Barat yang sekularistik. Hal ini tampak sekali dari adanya sistem penjurusan yang yang mengelompokkan kedalam jurusan agama dan umum. Jurusan agama seolah-olah terlepas dari umum dan sebaliknya. Hal ini sangat berbeda dengan pengajaran ilmu dalam tradisi Islam yang tidak mengenal dikotomi ini. Pengajaran ilmu dalam Islam disusun secara hierarkis yang dikenal dengan ilmu wajib ain dan ilmu wajib kifayah. Setiap peserta didik akan menerima pengajaran ilmu wajib ain sedangkan ilmu wajib kifayah adalah spesialisasi.[xvii] Konsep wajib ain dan wajib kifayah ini bukanlah konsep dikotomi,  tetapi lebih kepada skala prioritas.
b.        Dalam beberapa hal telah dilakukan upaya pengintegrasian, tetapi sifatnya masih artifisial, tambal sulam, dan tidak integral. Hal ini terlihat dari kebijakan beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam antara lain IAIN dan STAIN yang membuka tidak hanya jurusan agama tetapi juga umum, demikian juga dengan bermunculan sekolah-sekolah Islam di tingkat menengah dan dasar. Namun, keberadaan jurusan-jurusan yang bersangkutan masih terpaku pada jebakan dikotomi ilmu. Walaupun pendidikan umum yang dikelola oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam baik tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat yang lebih bawah memiliki ciri muatan pengetahuan agama lebih banyak tetapi belum terdapat pengintegrasian ilmu secara metodologis lebih-lebih epistemologis. Hal ini terlihat sekali bahwa ilmu pengetahuan umum masih berjalan seperti wujud semula tidak diislamisasi. Berbagai teori-teori ilmu pengetahuan kontemporer diadopsi begitu saja tanpa dikritisi. Bahkan dalam pengkajian filsafat ilmu yang banyak bersentuhan dengan epistemologi yang merupakan teori ilmu yang sangat mendasar ternyata masih secara utuh diadopsi dari teori-teori Barat tanpa pengkritisan.
c.        Kondisi lebih parah justru terletak pada pola metode studi Islam terutama diperguruan tinggi. Studi Islam yang semestinya menjadi pondasi malah terhegemoni oleh metode studi Barat yang sekuler dan liberal. Akibatnya, pendidikan Islam yang semestinya menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa tetapi yang terjadi malah menciptakan orang-orang yang ragu pada ajaran agama. Contoh adalah penggunaan hermeneutika khususnya dalam studi Al-Quran yang mampu menggeser keyakinan bahwa Al-Quran adalah kitab suci.

7. Kesimpulan
Tantangan globalisasi Barat yang hegemonik telah menimbuklan berbagai dampak yang serius pada masa depan pendidikan Islam. Realitas ini harus segera disadari oleh umat Islam dan lebih khusus lagi yang berkecimpung di dunia pendidikan. Untuk itulah perlu ada langkah taktis dan stategis yang bersifat antisipatif dan alternatif untuk membebaskan diri dari cengkeraman globalisasi Barat yang hegemonik. Langkah strategis itu meliputi; pemantapan visi dan misi yang berangkat dari penguatan pemahaman terhadap woldview Islam, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, dan perbaikan sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam.(mm)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Abrosyi, M. Athiyah, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam (terjemahan KH Abdullah Zaky al-Kaaf), Pustaka Setia, Bandung, 2003
Al-Azami, M.M., Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, Gema Insani, Jakarta, 2005
Armas, Adnin, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Quran, Gema Insani, Jakarta, 2005
Daud, Wan Mohd. Nor Wan, Filsafat dan Prektek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Mizan, Bandung, 1998
Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plp/pdf/KONSEP_MPMBS.pdf. diakses 23/02/2006
Haneef, Aslam , Islamisasi Ilmu Ekonomi: Apa yang Salah, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani, Jakarta,  2006
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, 2003
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
Al-Rubaie, Amer, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, Jurnal Islamia Vol. 1 No. 4, 2005
Yaqin, Ainul, dkk, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, LPPOM MUI-MUI Prop. Jatim, 2004
Zainuddin, dkk., Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Woldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, Jurnal Islamia Vol. 2 No. 5, 2005



[i]  M. Athiyah al-Abrosyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam (terjemahan KH Abdullah Zaky al-Kaaf), Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal. 13
[ii]  Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Prektek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Mizan, Bandung, 1998, hal 174.
[iii]  Ibid, hal 174.
[iv]  Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, 2003, hal. 82-83.
[v]  Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op.Cit. hal. 317..
[vi]  Ismail R. Al-Faruqi, Islamizing the sicial sciences, dalam Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005, hal. 34
[vii] Al-Attas dalam Rosnani Hashim, ibid, hal. 29
[viii] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, hal. 144-145.
[ix]  Rosnani Hashim, Op Cit, hal. 29.   
[x] Al-Attas, dalam Aslam Haneef , Islamisasi Ilmu Ekonomi: Apa yang Salah, Jurnal Islamia, Vol 1 No. 6, 2005, hal. 47
[xi]  Rosnani Hashim, Op Cit, hal. 36  
[xii]  Aslam Haneef , Op.Cit. hal. 47
[xiii] Hamid Fahmi Zarkasyi, Woldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, Jurnal Islamia Vol. 2 No. 5, 2005, hal 11 
[xiv]  Ibid, hal. 11
[xv] Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plp/pdf/KONSEP_MPMBS.pdf. diakses 23/02/2006
[xvi]  Ibid
[xvii] lihat konsep pendidikan Al-Ghazali dalam Zainuddin, dkk., Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hal. 34;  lihat pula pemaparan Al-Attas tentang konsep ini dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Op Cit. hal . 266-296


[Dari: Sumber]