Selasa, 24 September 2013

MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN ISLAM

Salah satu masalah besar abad 21 ialah kesadaran akan identitas suatu bangsa atau suku bangsa. Hal ini dsebabkan oleh adanya dua gelombang perubahan sosial, yaitu globalisasi dan demokrasi. Globalisasi yang menjadi pokok permasalahan bukan hanya bagi orang dalam bidang perdagangan, politik, ekonomi, tetapi menjadi pokok permasalahan dalam bidang filsafat dan tentunya pula dalam bidang pendidikan. Banyak pakar yang telah membahas mengenai globalisasi, nilai-nilai positif maupun negatif, bahkan ada yang sangat sekeptis tentang pengaruh globalisasi dalam kehidupan manusia. Namun demikian, kenyataan hidup manusia abad 21 menunjukkan terjadinya transformasi sosial yang belum pernah di alami oleh umat manusia untuk lepasa daru arus yang dapat mengeliminir atau memaginalisasikan identitas suatu masyarakat, duku bangsa, bahsakn identitas seseorang. Pada tingakat global, dismaping adanya kekuata-kekuatan dunia seperti dalam bidang pilitik dan perdagangan, muncullah pula kekuatan-kekuatan yang menginginkan orang mempunyai kesadaran akan identitasnya.[1]
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat di lihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beraneka ragam dan luas. Sekarang ini, jumlah  pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 ribu pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Terdiri dari 300 duku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga mengenal agama dan kepercayaan yang beragam seerti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan.
Keragaman ini di akui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan sekarang yang dihadapi bangsa. Korupsi, kolusi, nepotisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, sparatisme, peruskana lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagaian dari problem multikulturalisme itu. Contoh yang m\lebih konkrit dan selalu menjadi pengalaman pahit bagai bangsa ini, ialah terjadinya pembunuhan besar-besar terhadap masa yang ikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998-2003. rangkaian konflik tidak hanya menrenggut korban yang sangat besar, akan tetapu juga menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30masjid. Perang etnis antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2.000 nyawa manusia melayang sia-sia. [2]
Pertentangan yang terjadi di negeri ini beberapa tahun terakhir itu mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural bagi masyarakat. Meskipun bangsa ini mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya tidak. Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri ini sehingga memunculkan apa yang disebut link and macth. Dengan demikian, pendidikan tidak lebih dari pabrik raksasa yang menghasilkan tenaga trampil, namun biaya murah. Pada masa orde baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan yang ada hanya kebudayaan nasional. Warna lokal dianggap sesuatu yang sekunder. Padahal lokalisme dalam pendidikan multikultural merupakan bagian yang paling penting. [3]
Wacana tentang pendidikan multkulturalisme ini dimaksud untuk merespon fenomena konflik etnis, sosial budaya yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat multikultural, wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam yang suatu saat bisa memunculkan akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. [4]
Maka menjadikeharusan bagi kita bersama untuk memikirkan ulaya pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat, bahwa knflik itu bukan suatu hal yang baik untuk di budayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu memberikan tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan mendisain materi, motode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan akan pentingnya sikap saling toleran menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan multikultural. Dari latar belakang masalah tersebut selayaknya kita mengembangkan paradigma baru di dunia pendidikan, yakni paradigma pendidikan multikultural, paradigma pendidikan multikultural tersebut pada akhirnya bermuara pada terciptanya sikap siswa tau peserta didik yang mau memahami, menghormati, menghargai perbedaah budaya, etnis, agama, dan lainnya yang ada di masyarakat. [5]
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian yang terintegral dari pendidikan nasional. Penataan dan pengaturan atas pendidikan Islam merupakan hal yang inheren dengan pendidikan nasional, yang artinya ketika ada wacana baru yang menyangkut kebijakan pendidikan nasional secara tidak langsung akan berimplikasi pada pendidikan Islam. Sebagai mana yang telah di singgung atas upaya membangun pandangan multikultural dimasyarakat dengan melibatkan secara aktif kalangan pendidikan sebagai ihtiar awal dalam merajut kebersamaan ditengah pluralitas agama, budaya  yang menjad PR besar semua elemen bangsa. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya konflik keagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman keberagamaan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena pemahaman keberagamaan ini akan membentuk pribasi yang anti pati terhadap pemeluk agama lainnya.
Untuk mencegah keragaman keberagamaan masyarakat yag eksklusif ini tidak dapat terus berkembang, maka perlu di ambil beberapa langkah prefentif. Langkah yangperlu diperhatikan dan dilakukan adalah membangun pemahaman gerakan keberagamaan dan dilakukan adalah mengubah pemahaman gerakan keberagamaan yang lebih inklusif, pluralis, multikultural, humanis, dialogis persuasif, kontekstual, substansif, dan aktif sosial, sangat perlu untuk dikembangkan melalui pendidikan, media masa dan interaksi sosial .
Nasionalisasi multikulturalisme meskipun sapai hari ini masih dirasakan sulit oleh beberapa kalangan akan tetapi bukan suatu yang mustahil untuk kita lakukan. Urugensi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam sangatlah ekplisit. Bagaimana hal-hal yang menyangkut sistem pendidikan dapat secara gradual untuk di perbaharui, baik dari sisi materi, metode, kurikulum dan hal-hal lain yang mengitarinya meskipun itu sulit dilakukan.
Islam pada dasarnya memliki pandangan humanisme yang mendasar sebagai sistem nilai (value sistem) dalam membangun relasi social, dan memiliki kerangka acuan yang jelas dalam membangun pranata social kehidupan dimana keadilan dan kemerdekaan serta perdamaian menjadi ruh dan semangat di setiap simpul peradaban yang mensejarah yang mengalir dalam realitas kehidupan yang senantiasa berubah. Menghadirkan Islam yang sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatal lil alamin), bukan lah suatu hal yang mudah untuk kita lakukan, akan hal itu bukan hal yang mustahil untuk diupayakan. Layaknya agama-agama memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Sejarah yang mengalir melewati lorong-lorong waktu telah membentuk karekter agama-agama. Karena agama tidak hadir pada ruang h ampa, akan tetapi mengakar dengan tradisi dan tata nilai bidaya dimana duatu agama diturunkan, merupakan konstruksi nilai Ilahiah dan Insaniah, Ifrodiah dan Ijtimaiah yang dijadikan landasan inspirasional sekaligus dalam membangun tata kehidupan social.


[1] Har Tilaar, Kekuasaan Dan Pendidikan, Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Cultural. Indanesiatera, Magelang 2003. Hack 146
[2] M Ainul Yaqin, Pendidikan Multicultural, Cross Cultural Understanding Untuk Demokrasi Dan Keadilan, Yogyakarta, Pilar Media Hal 3-4
[3] Chairul Mahfud, Pendidikan Multicultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2006 Hal Xi-Xi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar