Selasa, 20 Agustus 2013

Pendidikan Islam dan Pembangunan Masyarakat Relijius



konteks pendidikan Islam di Indonesia tidak cukup hanya dengan melihat bahwa pendidikan Islam merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pendidikan Islam juga sekaligus sebagai entitas tersendiri yang memiliki tradisi dan kultur akademik yang berbeda dengan karakteristik pendidikan pada umumnya. Di antara ciri substantifnya adalah, bahwa pendidikan Islam dibangun atas dasar kesadaran dan keyakinan umat Islam untuk menjadi pribadi muslim yang taat (`abdullah, khalifah fi al-ard). Maka, wajar jika pengetahuan dan wawasan keislaman merupakan prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam. Kesadaran semacam ini lalu menjadi èlan vital di kalangan pemimpin agama yang secara mandiri memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah masyarakat, baik secara individual maupun kolektif-kolegial (organisasi keagamaan, al-jam`iyah al-diniyah).
Pondok (Arab: funduk) atau pesantren merupakan embrio paling genuine atas dimulainya tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Bentuk tradisional dari pendidikan Islam tersebut hingga sekarang memang masih bertahan, meskipun secara terus menerus dan massif tergerus oleh modernisasi, globalisasi, bahkan kapitalisasi pendidikan yang melanda dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya yang paling mengkhawatirkan dari transformasi pendidikan Islam ini bukan semata-mata pada aspek kelembagaannya, melainkan pada semakin surutnya nilai-nilai adi luhung yang menjadi urat nadi pendidikan Islam di Indonesia. Akibat buruk yang paling tidak menguntungkan secara institusional bagi keberadaan pendidikan Islam adalah pudarnya nilai-nilai kemandirian dan keikhlasan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh para pemuka agama. Sementara di sisi lain, pergeseran orientasi terhadap institusi pendidikan semakin menjurus pada proses fabrikasi yang hanya akan melahirkan manusia-manusia robot tanpa nilai dan kering dari moralitas agama.

Kekhawatiran semacam itu tentu tidak terlalu berlebihan, mengingat sekarang ini ekspektasi masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada lebih berkecenderungan materialistik, ketimbang ideal-moralistik. Besar kemungkinan banyak kita jumpai orang tua murid lebih takut jika kelak anaknya tidak mendapat pekerjaan yang pantas, daripada lebih takut anaknya akan menjadi seorang koruptor. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan memang perlu memperhatikan supplay and demand. Akan tetapi, pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat dari dunia pendidikan seharusnya tidak lalu mengorbankan idealisme pendidikan untuk mewadahi proses pemanusiaan manusia (humanizing human) dan proses pembudayaan masyarakat.

Di tengah persinggungan kepentingan semacam itulah, institusi pendidikan Islam sangat berpotensi mampu memenuhi tuntutan masyarakat modern di era global, sekaligus menjadi mercusuar dalam penguatan nilai-nilai dan moralitas agama. Memang, memasuki abad ke-20 terjadi transformasi besar-besaran di tubuh pendidikan Islam di Indonesia. Meski tidak sepenuhnya meninggalkan pola pendidikan tradisional ala pesantren, tetapi modernisasi di tubuh pesantren telah banyak mengubah rasa pesantren menjadi sekolah umum dengan sebutan madrasah. Nurcholish Madjid (alm.), Abdurrahman Wahid (alm.), Karel Steenbrink, Zamachsyari Dhofier, dan Azyumardi Azra adalah sebagian penulis yang cukup berhasil memotret proses modernisasi yang terjadi di tubuh pesantren hingga kemudian terlahir pola pendidikan Islam dalam bentuk madrasah. Transformasi kelembagaan di tubuh pesantren dalam banyak aspek kependidikan memang membawa semangat pembaharuan yang positif, terutama dengan semakin terbukanya paradigma kalangan pesantren dalam menangkap semangat zaman (zeitgeist). Ini tentu saja menjadi momentum bagi umat Islam untuk belajar disiplin ilmu di luar bidang-bidang keagamaan yang selama ini menjadi satu-satunya terjemahan dari "tholabu al-`ilmi faridhatun..." (kewajiban menuntut ilmu) yang dipahami wajib (fardlu `ayn). Sementara pemahaman dan kemampuan pada disiplin di luarnya dipandang fardlu kifayah, bahkan boleh jadi sunnah.

Belakangan, diskusi soal eksistensi pendidikan Islam tidak lagi berkutat pada aspek substantif-akademik, melainkan semakin mengkerucut pada aspek formatif-institusional. Hal ini mengingat keberadaan pendidikan Islam dalam berbagai pola dan bentuknya sudah diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Namun demikian, dalam situasi di mana terjadi peleburan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional, tentu kita harus tetap memperkuat semangat dan cita-cita awal untuk membentengi masyarakat muslim dengan nilai-nilai dan moralitas agama. Jangan sampai tuntutan dunia kerja dan profesional menjadi satu-satunya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada saat yang bersamaan melupakan peran pendidikan dalam melakukan transmisi nilai-nilai agama dan budaya bangsa.

Revitalisasi Pendidikan Islam

Secara kualitas, tuntutan masyarakat di era globalisasi terhadap institusi pendidikan Islam tidak berbeda dengan yang dihadapi institusi pendidikan di Indonesia pada umumnya, mengingat semakin tingginya tingkat kompetisi bagi lulusan di dunia kerja. Namun, ruang lingkup pendidikan Islam yang luas, di mana penyelenggaraannya di madrasah, sekolah umum, dan secara tradisional di pesantren dan majelis taklim, secara kependidikan berpotensi semakin baik. Hal ini mengingat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology) dalam dunia pendidikan sangat membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan yang prima, baik secara administratif maupun akademik.

Sementara itu, diversifikasi pendidikan Islam yang ditandai dengan penguatan pada disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial (human and social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) semakin membuktikan kesetaraan institusi pendidikan Islam dengan sekolah umum. Meskipun memang secara mendasar lokus pendidikan Islam terletak pada pendidikan agama dan keagamaan. Justru dengan demikian secara keilmuan lulusan dari lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki nilai lebih (added value) bahkan keunggulan komparatif (comparative advantage), berupa wawasan dan pengetahuan keislaman yang relatif lebih baik.

Harapan untuk memiliki nilai lebih bagi institusi pendidikan Islam tentu bukan persoalan mudah. Ada sejumlah persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk mencapai target itu. Dari segi kurikulum, misalnya, kita tidak mungkin menjadikan lembaga pendidikan Islam mampu melahirkan lulusan yang ideal, ketika struktur kurikulum tidak memberi ruang yang cukup bagi penguatan bidang-bidang umum secara spesifik dan intensif; dan begitupun sebaliknya. Pada tingkat madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), pemenuhan kurikulum secara nasional perlu diekstensifikasi dengan bidang-bidang keislaman dan kemampuan bahasa asing. Hal ini tidak memungkinkan jika pembelajaran dilakukan tanpa terintegrasi dengan pola pesantren (islamic boarding school). Dengan pola pendidikan berasrama, penguatan bidang-bidang profesional dapat dilakukan secara simultan dengan penguatan pada bidang-bidang keislaman dan pendidikan karakter (akhlak al-karimah). Selain itu, interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan pengelola asrama memungkinkan terciptanya pembiasaan dalam penggunaan bahasa asing, semangat kemandirian, kultur akademik yang kompetitif, bahkan yang tak kalah penting adalah aspek keteladanan pengamalan ajaran agama.

Inovasi dan pembaharuan juga diperlukan dalam pola pengelolaan pendidikan Islam. Sebab, dalam masyarakat global saat ini, institusi pendidikan Islam dituntut memiliki kinerja yang produktif, efektif, transparan, dan akuntabel. Di pihak lain, penerapan tata kelola yang bersih dan baik (clean and good governance) merupakan imbas positif dari demokratisasi pada level pemerintahan yang kemudian menjadi tuntutan di semua level organisasi, termasuk pada tingkat lembaga pendidikan. Sebab, secara tidak langsung, baik atau buruknya pengelolaan pendidikan akan berdampak pada layanan terhadap peserta didik di semua jenjang pendidikan.

Alhasil, pendidikan Islam di semua jenis, jenjang, bentuk, dan pola penyelenggaraannya perlu lebih diperkuat lagi peranannya; pertama, dari aspek keilmuan perlu dilakukan diferensiasi yang lebih spesifik antara orientasi pengembangan akademik dan orientasi keterampilan hidup (lifeskill). Kedua, dalam kapasitasnya sebagai transmitter ajaran dan nilai-nilai keislaman dapat dimulai dengan pembudayaan dan peneladanan pengamalan ajaran Islam pada level institusional (sekolah dan madrasah). Dengan penguatan pada dua peran penting pendidikan Islam tersebut, pembangunan masyarakat relijius dikonstruksi secara sistemik, dengan tidak saja atas partisipasi dan kesadaran dari masyarakat sendiri, tapi juga ada upaya-upaya fasilitasi dari negara melalui Kementerian Agama sebagai regulator penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia. Wallahu a`lam


>>> Sumber <<<

Revitalisasi Pendidikan Pesantren


Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.


Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.

Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.

Kebijakan Diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.

Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.

Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.

Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.

Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.


>>> Sumber <<<