Sabtu, 06 Juli 2013

Syiah di Nusantara


Syiah hadir sejak awal Islam masuk Nusantara. Bahkan, Kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah.
Menurut beberapa sejarawan, kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah: Kerajaan Perlak. Bukti arkeologisnya makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur. 

Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, meyakini Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah aliran Syiah. Aliran Syiah dibawa oleh para pedagang Gujarat, Persia, dan Arab ke pantai timur Sumatra, terutama ke Perlak dan Pasai, dan mendapat dukungan dinasti Fathimiah di Mesir.

Pada tahun 800 Masehi, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. Armada itu mengangkut seratus saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin nakhoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah. “Rombongan misi Islam yang dipimpin Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah,” tulis sejarawan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan Ahlussunnah.

Sejak itu, mereka kerap datang ke Bandar Perlak sehingga banyak orang Perlak masuk Islam, termasuk Meurah (Maharaja) Perlak dan keluarganya. Sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah, pada tahun 840 Masehi diproklamasikan kerajaan Perlak yang beribukota Bandar Khalifah, saat ini letaknya sekira enam kilometer dari kota Peureulak. “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan Syi’ah),” simpul Hasjmy.

Dalam perjalanannya terjadi perebutan kekuasaan antara Sunni dan Syiah di Kerajaan Perlak. Sehingga Kerajaan Perlak terbelah dua: Perlak pesisir untuk Syiah dan Perlak pedalaman untuk Sunni.
Persengketaan terhenti ketika mereka menghadapi musuh bersama; Sriwijaya, yang menyerang Perlak pada 986 Masehi. Pada tahun 1006, perang usai karena Sriwijaya harus perang melawan kerajaan Medang yang dipimpin Dharmawangsa. Karena Sultan Perlak pesisir gugur, kerajaan Perlak dipimpin Sultan Perlak pedalaman. Sejak itu, Sunni berkuasa dalam waktu lama.

Pengaruh Syiah merambah kerajaan Samudra Pasai. Kerjaaan ini didirikan pada 1042 oleh Meurah Giri, kerabat Sultan Mahmud dari kerajaan Perlak yang menganut Sunni. Meurah Giri jadi sultan pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah. Keturunannya memerintah Pasai sampai 1210. Pascakematian Sultan Al-Kamil yang tak meninggalkan putra mahkota, terjadi perang saudara.

Pada 1261 Meurah Silu, juga keturunan Sultan Perlak, mengambil-alih kekuasaan Pasai. “Meurah Silu adalah seorang Islam sejak awal, bukan diislamkan kemudian. Akan tetapi Islamnya adalah Islam Syiah, yaitu mazhab yang berkembang di Perlak,” tulis Ahmad Jelani Halimi, sejarawan Universitas Sains Malaysia, dalam Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.

Namun Dinasiti Fathimiah rontok pada 1268. Terputuslah hubungan antara kaum Syiah di pantai timur Sumatra dan Mesir. Dinasti Mamluk, yang berkuasa di Mesir dan beraliran Syafii, mengirim Syekh Ismail ke pantai timur Sumatra untuk memusnahkan aliran Syiah. Syekh Ismail berhasil membujuk Meurah Silu untuk menyeberang ke aliran Syafi’i. Hubungan dengan Mamluk di Mesir jelas terlihat dari gelar yang dipakai Meurah Silu, Malikul Saleh. “Gelar ini merupakan gelar pendiri kerajaan Mamluk Mesir, Sultan Malik al-Saleh Najmuddin al-Ayyubi,” tulis Ahmad Jelani.

“Selama Sultan Malikul Saleh berkuasa, agama Islam aliran Syiah ditindas,” tulis Slamet Muljana.
Sultan Perlak terakhir meninggal pada 1292. Setelah itu, Perlak menjadi bagian dari kerajaan Samudra Pasai di bawah Sultan Malikul Zahir, anak Malikul Saleh.

Menurut Hasjmy, kaum Syiah yang terjepit di Perlak berusaha menguasai Pasai. Usahanya berhasil dengan naiknya Arya Bakooy bergelar Maharaja Ahmad Permala menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (1400-1428). Perang kembali pecah antara pengikut Sunni dengan Syiah. Arya Bakooy tewas dalam suatu pertempuran. Syiah pun tersingkir dari arena politik di Samudra Pasai. Tetapi, sebagai suatu aliran politik dan agama, ia masih terus hidup, teristimewa sekali sebagai suatu aliran tasawuf, tarekat, dan filsafat.

Portugis yang telah menguasai Malaka, menebarkan ancaman. Kerajaan-kerajaan Islam: Perlak, Samudra Pasai, Beunua (Teumieng), Lingga, Pidie, Daya, dan Darussalam, bersatu menjadi kerajaan Aceh Darussalam pada 1511 di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. “Di kesultanan ini, kelompok Ahlusunah dan Syiah dapat secara bebas menyampaikan akidah dan pemikiran tasawuf mereka meskipun terkadang terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Muhammad Zafar Iqbal, doktor sastra Persia dari Universitas Tehran Iran, dalam Kafilah Budaya.

Selama Samudra Pasai di bawah perdana menteri Arya Bakooy, tokoh besar Syiah Syekh Abdul Jalil berangkat ke Tanah Jawa. Di daerah Jawa dia kemudian dikenal sebagai Syekh Siti Jenar. Di Jawa, dia harus berhadapan dengan sejumlah wali dalam perebutan pengaruh agama dan politik. Siti Jenar akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Syiah juga menjalar ke Minangkabau. Namun kemudian mendapat tentangan dari kaum adat, terutama tiga haji yang baru kembali dari Mekah: Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Ketiga tokoh Wahabi tersebut membentuk gerakan untuk menentang aliran Syiah dan pemurnian agama Islam.

Di Aceh sendiri, pada abad ke-16 dan 17, tokoh-tokoh ulama Syiah dan Ahlusunah dari Arab, Persia, dan India silih-berganti datang. “Di antara para penganjur aliran Syiah yang utama di pantai timur Sumatra ialah penyair Hamzah Fansuri dari Barus dan Syamsuddin al-Sumatrani pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Aliran Syiah di kesultanan Aceh itu pun kemudian dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri,” tulis Slamet Muljana.

Dalam pengantar buku Syi’ah dan Politik di Indonesia, Azyumardi Azra, direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meragukan klaim-klaim mengenai pergumulan dan kekuasaan Syiah di Nusantara. Dia menyoroti kelemahan pokok dari sisi metodologi dan sumber-sumber sejarahnya.

Terlepas dari masih diperdebatkan, yang jelas Syiah bagian dari kita: Indonesia.

*****

==== Link Sumber ====

Sekilas Syeh Siti Jenar




Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah. Apalagi bila realitas sejarah tersebut telah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara sumbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeh Siti Jenar alias Syeh Abdul Jalil12903281072006191027. Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.

Oleh sebab itu , melalui sebuah karya seorang ulama Jawa Timur tersohor K.H. Abil Fadol Senori Tuban dalam karyanya ” Ahla al- Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al-’Asyrah ( sekelumit hikmah tentang Wali sepuluh ). Penulis mencoba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan ta’ajub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar Islam adalah Wali Songo atau wali sembilan. Nah, K.H. Abil Fadol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan. Sebab realitanya, Syeh Siti Jenar sering diklaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan K.H Abil Fadol sebenarnya telah bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu. Tapi, karena kehati-hatian beliau, karya-karya ” kanonikal ” beliau tidak dipublikasikan secara umum. Akan tetapi, saat ini banyak karya beliau yang mulai dilirik oleh kiyai-kiyai pesantren tanah Jawa. Seperti ringkasan ” Audhoh al- Masalik Ala al-Fiyah Ibn Malik , Kawakib al-Lama’ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahlissunnah Waljama’ah, Ahlal Musammarah ” ( sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syah Siti Jenar dalam tulisan ini ), dan lain-lain. Bahkan ada karya beliau tentang Syarh Uqud al-Juman Fi Ilmi al-balaghah yang belum selesai, karena beliau telah berpulang kekhadirat-Nya, sehingga proyek balaghah tersebut menunggu uluran tangan para Kiyai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satu pun ulama Indonesia pada saat ini, mampu menyelesaikan maha karya tersebut, hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikannya.Namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang K.H Abil Fadol, tapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.



Syekh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal-usulnya. Dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari persia, bahkan ada juga yang menyatakan beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Maja Pahit. Bagi penulis, sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Penulis hanya ingin menampilkan sosok Syekh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syekh Abdul Jalil dengan didukung beberapa data yang realistis. Dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu ) Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak merupakan saudara kandung dari Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi. Syekh Maulana Ishak merupakan putra dari Syekh Jumadil Kubro, yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husain, Sayyidina Ali, sampai ke Rosulullah. Walaupun dalam versi yang lain, Syekh Maulana Ishak merupakan putra dari Syekh Ibrahim Asmarakandi, namun penulis tetap yakin dengan versi pertama. Syekh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condrowulan, putri cempa yang menjadi saudara sekandung istri prabu Brawijaya yang bernama Dewi Martaningrum. Prabu Brawijaya (Rangka wijaya) memiliki banyak istri, diantaranya putri raja Cina yang bernama yang melahirkan Raden Patah, Martaningrum ( putri cempa ) dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng. Dari pernikahan Syekh Ibrahim Asmarakandi dengan Condrowulan melahirkan tiga buah hati, Raden Raja pendita, Sayid Rahmat (Sunan Ampel ), dan Sayyidah Zainab. Setelah dewasa, Raden Raja pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya. Tatkala akan kembali ke negeri cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya sebab keadaan Cempa tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanah dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa. Raja Pandita menikah dengan anak Arya ” Beribea ” yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya teja yang bernama Condrowati. Dari pernikahan dengan Condrowati, Raden Rahmat dianugerahi lima anak, Sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafsah, Sayyid Ibrahim ( Sunan Bonang ), dan Sayyid Qosim ( Sunan Derajat ).

Adapun Syekh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri pasai, dengan dikaruniai dua orang anak, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qadir. Sunan Ampel menyebarkan Islam di daerah Surabaya dan sekitarnya, sedangkan Syekh Maulana Ishak meninggalkan Istrinya di Pasai menuju kerajaan Blambangan ( Jawa Timur bagian Timur ). Walaupun hanya tinggal di sebuah bukit di Banyu Wangi, namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana. Sehingga ia pun diberi hadiah Dewi Sekardadu Putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Sunan Giri ( Raden Paku ‘ainul Yaqin ). Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah sebagai buah hatinya pun tak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di pesantren Ampel Denta asuhan Sunan Ampel atas perintah sang ayah.

Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid ( Sunan Kali Jaga ) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta) , sedangkan Sayyid Abdul Qadir dinikahkan dengan Dewi Asiyah, anak dari Jaka Qandar (Sunan Malaya). Nah, dari kedua padangan inilah lahir Syekh Abdul Jalil.
Sayyid Abdul Jalil mempunyai himmah untuk belajar Ilmu Tasawwuf kepada Sunan Ampel. Diantara temen-temannya, dialah yang sangat paham dalam menyingkap Ilmu tauhid secara tepat; tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala seseorang memahami Tauhid tentu keyakinannya tehadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar ) atau ekstrim kiri (kufr ), tetapi berada dalam neutral point ( Nuqtah Muhayidah ).

Kegesitan dalam dunia da’wah melalui kedalaman teologi ( tauhid ) menarik simpati pelbagai keluarga keraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Jaka Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual. Sehingga keberadaan jaka tingkir sebagai seorang politisi, mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang ( yang di back up oleh Sunan Kudus ) dan Ratu Kalinyamat. Setelah Arya Penangsang dapat ditaklukan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang, dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo, Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Jaka Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik. Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau dikarenakan faktor politik. Sebagaimana yang telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran ” Manunggaling Kaulo Gusti” ( wihdatul wujud ) ” yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan. Memang Wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhoh hasanah, dan mujadalah lewat mata hati. Sehingga akulturasi budaya budha, hindu, dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syrik dan kufur. pernahkah kita berfikir, andaikan Wali Sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tentu mungkin Islam belum belum mendarah daging d pulau Jawa, hingga sekarang. Sunan Abdul Jalil adalah seorang Wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran bila banyak kalangan elite Maja Pahit yang masuk Islam, Santri-santrinya lah yang dikhawatirkan mencegah berdirin dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro, sungguh sangat kejam, hanya demi tegaknya negara Syari’at Sunan Abdul Jalil direndahkan reputasinya dan dituduh menyebarka ajaran sesat.

Hal ini dapat anda buktikan dengan kematiannya yang misterius, tanpa diketahui tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja, padahal santri-santrinya pun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Ki Ageng Pangging alias Kebo Kenanga, yang berhasil mendidik Jaka Tingkir. Konflik antara proyek besar negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara ) inilah, yang menjadikan nama Syekh Siti Jenar harum sebagai Sunan Jepara alias Syekh Abdul Jalil, karena beliau adalah penasehat menantu Raden Patah, Sultan Hadirin yang selayaknya didaulat menjadi raja Demak menggantikan Sultan Trenggana.


Begitulah sekelumit sejarah tentang Syekh Siti Jenar alias Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara. Anda dapat mengunjungi makamnya di  Mantingan, Kalinyamat, Jepara, Jawa Tengah. Makam beliau di sebelah makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat, lebih jelasnya anda dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut, yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu A’lam …..

****

=== Link Sumber ====