Mengkaji sejarah merupakan sebuah
upaya yang tidak mudah. Apalagi bila realitas sejarah tersebut telah menjadi
opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara sumbang yang kurang dapat
dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeh Siti Jenar
alias Syeh Abdul Jalil12903281072006191027. Keberadaannya yang misterius
membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa
dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.
Oleh sebab itu , melalui sebuah
karya seorang ulama Jawa Timur tersohor K.H. Abil Fadol Senori Tuban dalam
karyanya ” Ahla al- Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al-’Asyrah ( sekelumit
hikmah tentang Wali sepuluh ). Penulis mencoba menampilkan sejarah yang sinkron
dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan ta’ajub, sebab
selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar Islam adalah Wali Songo atau
wali sembilan. Nah, K.H. Abil Fadol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah
yang selama ini terabaikan. Sebab realitanya, Syeh Siti Jenar sering diklaim
sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan K.H Abil Fadol
sebenarnya telah bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu. Tapi, karena
kehati-hatian beliau, karya-karya ” kanonikal ” beliau tidak dipublikasikan
secara umum. Akan tetapi, saat ini banyak karya beliau yang mulai dilirik oleh
kiyai-kiyai pesantren tanah Jawa. Seperti ringkasan ” Audhoh al- Masalik Ala
al-Fiyah Ibn Malik , Kawakib al-Lama’ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahlissunnah
Waljama’ah, Ahlal Musammarah ” ( sebuah karya yang penulis jadikan rujukan
utama dalam biografi Syah Siti Jenar dalam tulisan ini ), dan lain-lain. Bahkan
ada karya beliau tentang Syarh Uqud al-Juman Fi Ilmi al-balaghah yang belum
selesai, karena beliau telah berpulang kekhadirat-Nya, sehingga proyek balaghah
tersebut menunggu uluran tangan para Kiyai di Indonesia. Dan kabar yang penulis
terima, tak satu pun ulama Indonesia pada saat ini, mampu menyelesaikan maha
karya tersebut, hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba
menyelesaikannya.Namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang K.H Abil
Fadol, tapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang
penulis jumpai.
Syekh Siti Jenar mungkin tidak
banyak yang mengetahui asal-usulnya. Dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor
cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal
dari persia, bahkan ada juga yang menyatakan beliau sebagai keturunan seorang
empu kerajaan Maja Pahit. Bagi penulis, sumber-sumber tersebut tidak dapat
disalahkan akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Penulis hanya
ingin menampilkan sosok Syekh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syekh Abdul
Jalil dengan didukung beberapa data yang realistis. Dalam sumber yang penulis
terima, beliau merupakan keturunan (cucu ) Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana
Ishak merupakan saudara kandung dari Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa
yang dipersunting Raja Romawi. Syekh Maulana Ishak merupakan putra dari Syekh
Jumadil Kubro, yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husain,
Sayyidina Ali, sampai ke Rosulullah. Walaupun dalam versi yang lain, Syekh
Maulana Ishak merupakan putra dari Syekh Ibrahim Asmarakandi, namun penulis
tetap yakin dengan versi pertama. Syekh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi
Condrowulan, putri cempa yang menjadi saudara sekandung istri prabu Brawijaya
yang bernama Dewi Martaningrum. Prabu Brawijaya (Rangka wijaya) memiliki banyak
istri, diantaranya putri raja Cina yang bernama yang melahirkan Raden Patah,
Martaningrum ( putri cempa ) dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.
Dari pernikahan Syekh Ibrahim Asmarakandi dengan Condrowulan melahirkan tiga
buah hati, Raden Raja pendita, Sayid Rahmat (Sunan Ampel ), dan Sayyidah
Zainab. Setelah dewasa, Raden Raja pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah
Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya. Tatkala akan
kembali ke negeri cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya sebab keadaan
Cempa tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanah dan
diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa. Raja Pandita menikah
dengan anak Arya ” Beribea ” yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat
menikah dengan anak Arya teja yang bernama Condrowati. Dari pernikahan dengan
Condrowati, Raden Rahmat dianugerahi lima anak, Sayyidah Syarifah, Sayyidah
Mutmainnah, Sayyidah Hafsah, Sayyid Ibrahim ( Sunan Bonang ), dan Sayyid Qosim
( Sunan Derajat ).
Adapun Syekh Maulana Ishak
menikah dengan seorang putri pasai, dengan dikaruniai dua orang anak, Siti
Sarah dan Sayyid Abdul Qadir. Sunan Ampel menyebarkan Islam di daerah Surabaya
dan sekitarnya, sedangkan Syekh Maulana Ishak meninggalkan Istrinya di Pasai
menuju kerajaan Blambangan ( Jawa Timur bagian Timur ). Walaupun hanya tinggal
di sebuah bukit di Banyu Wangi, namun keberadaannya dapat diketahui pihak
kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana.
Sehingga ia pun diberi hadiah Dewi Sekardadu Putri Menak Sembuyu, Raja
Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Sunan Giri ( Raden Paku
‘ainul Yaqin ). Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah sebagai buah hatinya pun
tak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di pesantren Ampel Denta
asuhan Sunan Ampel atas perintah sang ayah.
Setelah mumpuni keduanya pun
dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid ( Sunan Kali Jaga ) bin Raden
Syakur (Adipati Wilatikta) , sedangkan Sayyid Abdul Qadir dinikahkan dengan
Dewi Asiyah, anak dari Jaka Qandar (Sunan Malaya). Nah, dari kedua padangan
inilah lahir Syekh Abdul Jalil.
Sayyid Abdul Jalil mempunyai
himmah untuk belajar Ilmu Tasawwuf kepada Sunan Ampel. Diantara temen-temannya,
dialah yang sangat paham dalam menyingkap Ilmu tauhid secara tepat; tidak
ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala seseorang memahami Tauhid tentu
keyakinannya tehadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar ) atau ekstrim kiri
(kufr ), tetapi berada dalam neutral point ( Nuqtah Muhayidah ).
Kegesitan dalam dunia da’wah
melalui kedalaman teologi ( tauhid ) menarik simpati pelbagai keluarga keraton
Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama
Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang
mendidik Mas Karebet alias Jaka Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh
ritual, sosial dan intelektual. Sehingga keberadaan jaka tingkir sebagai
seorang politisi, mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang (
yang di back up oleh Sunan Kudus ) dan Ratu Kalinyamat. Setelah Arya Penangsang
dapat ditaklukan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang, dan
menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan
berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo,
Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Jaka Tingkir tak lepas dari
peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik. Bila anda mengkaji
literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau
dikarenakan faktor politik. Sebagaimana yang telah diteliti oleh Agus Sunyoto
dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran ” Manunggaling Kaulo Gusti”
( wihdatul wujud ) ” yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan. Memang
Wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan
kearifan, hikmah, mauidhoh hasanah, dan mujadalah lewat mata hati. Sehingga
akulturasi budaya budha, hindu, dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Akan
tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syrik
dan kufur. pernahkah kita berfikir, andaikan Wali Sepuluh memisahkan esensi
Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tentu mungkin Islam belum belum
mendarah daging d pulau Jawa, hingga sekarang. Sunan Abdul Jalil adalah seorang
Wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau
berada dalam papan atas. Tak heran bila banyak kalangan elite Maja Pahit yang
masuk Islam, Santri-santrinya lah yang dikhawatirkan mencegah berdirin dan
berkembangnya kerajaan Demak Bintoro, sungguh sangat kejam, hanya demi tegaknya
negara Syari’at Sunan Abdul Jalil direndahkan reputasinya dan dituduh
menyebarka ajaran sesat.
Hal ini dapat anda buktikan
dengan kematiannya yang misterius, tanpa diketahui tahun dan tempat eksekusi
tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja, padahal
santri-santrinya pun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti
Ki Ageng Pangging alias Kebo Kenanga, yang berhasil mendidik Jaka Tingkir.
Konflik antara proyek besar negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan
Glagah Wangi (Jepara ) inilah, yang menjadikan nama Syekh Siti Jenar harum
sebagai Sunan Jepara alias Syekh Abdul Jalil, karena beliau adalah penasehat
menantu Raden Patah, Sultan Hadirin yang selayaknya didaulat menjadi raja Demak
menggantikan Sultan Trenggana.
Begitulah sekelumit sejarah
tentang Syekh Siti Jenar alias Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara. Anda dapat
mengunjungi makamnya di Mantingan,
Kalinyamat, Jepara, Jawa Tengah. Makam beliau di sebelah makam Sultan Hadirin
dan Ratu Kalinyamat, lebih jelasnya anda dapat bertanya kepada juru kunci makam
tersebut, yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu A’lam
…..
****
=== Link Sumber ====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar