>>>>> Di Copy Dari: Link Ini
Di tengah malam gulita, seorang anak terjaga dari tidurnya. Ia kebelet buang air kecil. Lalu, ia pun membangunkan ibunya, “Bu temani aku ke kamar kecil dong, aku takut kalau ke WC sendirian.” “Tak usah takut nak, kan suara ibu dari sini kedengaran,” jawab ibunya. Anak tersebut kembali menyahut, “Aku butuh kehadiran ibu secara fisik untuk menemani di sampingku…”
Begitulah peran penting seorang guru, sebab para siswa butuh kehadiran fisik untuk menemani mereka belajar di kelas. Kisah sederhana tapi mendalam tersebut disampaikan A. Mintara Sufiyanta, SJ, M. Hum., M.Ed. dalam diskusi publik di Ruang Seminar Perpustakaan Lantai 3 Gedung Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) pada Senin, 27 Mei 2013, pukul 16.00-18.00 WIB. “Iman tanpa perbuatan adalah mati. Tak cukup hanya berdoa, tapi kita butuh tindakan,” imbuh Rohaniwan Jesuit yang sejak 26 Juni 2012 silam menjabat sebagai Direktur Yayasan Kanisius-Pendidikan Cabang Yogyakarta.
“Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya mau lebih banyak berkisah, bukan sekadar berteori ataupun berceramah,” imbuhnya lagi. Lalu, mantan Moderator SMA Loyola Semarang (2004-2006) tersebut membagikan selembar kertas kepada masing-masing peserta diskusi. “Monggo silakan membacanya beberapa saat dan kemudian kita sharing poin-poin yang berkesan dari cerita saya tersebut,” katanya.
Berikut ini kutipan paper singkat itu:
“Beberapa bulan lalu saya mengunjungi sebuah sekolah di daerah terpencil di Gunung Kidul, Wonosari, Yogyakarta, namanya SD Kanisius Ngawen. Anak-anaknya sederhana, namun penuh semangat. Guru-gurunya pun sederhana, tetapi juga bersemangat. Dari sorot mata mereka, saya melihat api semangat memancar keluar.
Saya ngobrol dengan anak-anak itu. Saya juga ngobrol dengan kepala sekolah dan guru-guru. Lalu suatu ungkapan disampaikan oleh kepala sekolah, suatu ungkapan yang benar-benar menyentuh hati saya. “Romo, anak-anak ini sangat ingin melihat kota Yogyakarta.” Lalu saya bertanya, “Memang anak-anak ini belum pernah ke sana?” Jawab ibu kepala sekolah itu, “Jangankan ke Yogya Romo, ke kota Wonosari saja mereka itu belum pernah.”
Singkat cerita, saya meminta kepada kepala sekolah mengatur jadwal untuk membawa murid-murid SD Kanisius Ngawen itu (murid-murid kelas V dan VI) ke kota Yogyakarta mengunjungi beberapa tempat. Tapi mata sang ibu kepala sekolah masih redup. Ternyata, alasan biaya menjadi faktor utama yang membelenggu pikirannya. Saya berjanji untuk membantu biayanya.
Untungnya, ketika saya menceritakan kisah kerinduan anak-anak SD Kanisius Ngawen itu kepada tamu saya dari Manado, ia menyanggupkan diri untuk membantu. Dengan didampingi oleh 5 guru, sekitar 17 anak itu akhirnya sampai juga ke Taman Pintar, Alun-alun, Malioboro, Museum Dirgantara, dan beberapa tempat lainnya.
Saya pun mendatangi dan bertemu mereka di Taman Pintar. Siang itu saya melihat mereka menyantap makanan dengan lahap di bawah rerintikan hujan. Tapi yang paling utama, siang itu saya melihat wajah kepala sekolah, para guru dan anak-anak yang polos sederhana itu tampak gembira.
Intinya, saya terharu dan tersentuh oleh komitmen kepala sekolah dan para guru yang memberikan hati secara total dan tulus kepada anak-anak sehingga anak-anak itu memiliki pengalaman yang mengesankan dan menggembirakan. Dari pengalaman kasih hati itu, yang paling penting menurut hemat saya ialah anak-anak tadi setidaknya pernah mengalami dikasihi orang dewasa, yaitu dikasihi oleh guru-guru mereka.
Hakikat pendidikan bukan sekadar rumusan silabus dan catatan-catatan administratif tanpa makna. Pendidikan utamanya adalah dinamika sentuhan dan relasi hati. Hakikat sekolah bukanlah sekadar gedung dan perangkat-perangkat pembelajaran belaka. Sekolah utamanya adalah dinamika kehidupan komunitas antar pribadi.
Hal yang sama juga berlaku untuk relasi hati dan sharing kasih dalam keluarga di rumah masing-masing. Bahan refleksinya untuk kita semua, bukankah orang tua di rumah dan guru di sekolah yang secara tulus memberikan seluruh hatinya, itulah batu pondasi paling kokoh bagi terbangunnya pendidikan dan sekolah kasih?” (halaman 2).
Bu Susi selaku moderator diskusi juga merasa tersentuh dengan kisah di atas. Ia bekerja di bagian perpustakaan UAJY. Selama ini suasana di perpustakaan cenderung kaku dan formal. Lalu, ia berinisiatif untuk menyapa mahasiswa yang meminjam atau mengembalikan buku. Ternyata, mereka merasa senang ketika menerima fasilitas yang ada sentuhan manusiawinya.
Kurikulum
Selanjutnya, Romo Mintara memaparkan tiga jenis kurikulum, yakni kurikulum tertulis (written), tersembunyi (hidden) dan dihidupi (living). “Guru yang profesional pasti mempersiapkan written kurikulum tersebut. Kalau tak mempersiapkan berarti ia tidak sungguh-sungguh. Sama seperti seorang ibu yang hendak melahirkan bayi, pasti ia pun mempersiapkan diri, misalnya membeli popok dan kain-kain.”
“Artinya, kurikulum tertulis, silabus, dll memang penting bagi guru/dosen. Selain untuk mengarahkan juga memudahkan kerja guru sendiri. Oleh sebab itu, dalam bahasa Latin, kurikulum berarti sesuatu yang mengarahkan,” ujarnya.
“Sedangkan hidden kurikulum adalah nilai-nilai, budaya dan spirit. Baru-baru ini saya mendapatkan sms dari Pak Iswanto dari Kanisius Promasan. Anak-anak di sana nggamel, menyanyi, menari, dll. Seni tradisi dan kearifan lokal memang dapat mendidik anak untuk senantiasa ingat pada akar budayanya,” terangnya.
“Lantas terkait living kurikulum, saya memberi contoh dari SD Kanisius Kadirojo. Di sana, ibu Tin Supratinah menggerakkan anak-anak, wali murid, dan para stakeholder. Mereka mendatangkan truk terbuka yang kemudian dipakai sebagai panggung anak-anak untuk pentas.”
“Mereka juga mengumpulkan plastik bekas untuk dipakai sebagai bahan baku kerajinan tangan. Tak berhenti sampai di situ, mereka praktik mbatik beramai-ramai di sekolah. Agar lebih menghemat biaya, mereka meminta ke dinas pendidikan subsidi kain mori. Mereka juga mengajukan proposal ke instansi swasta untuk menyediakan canting, kompor kecil, dan alat batik lainnya,” papar Romo Mintara dengan penuh semangat.
“Uniknya, ketika mbatik anak-anak kelas VI SD itu harus menggambar 3 unsur, yakni pertama lingkungan hidup. Seperti daun, pohon, bunga, awan, matahari, dll. Kedua harus ada simbol K (Kanisius). Ketiga, harus kontekstual. Karena lokasi sekolah dekat dengan candi Sambisari, mereka juga membatik motif candi peninggalan leluhur tersebut. Hebatnya lagi, Bu Tin selaku kepala sekolah meminta hasil karya batik anak-anak tersebut. Kenapa? Karena kelak akan dipakai oleh adik-adik kelas I SD yang akan sekolah di tempat mereka. Dari situ, nilai kepedulian diajarkan lewat praktik bukan sekadar ceramah, it’s very touching,” pungkasnya.
Lalu, ketika ditanya tentang UN, Romo Mintara secara tegas mengatakan, “Itu proyek, kasat mata sekali. Tunjukkan alasan itu bukan proyek maka saya akan tunjukkan lebih banyak fakta bahwa itu memang proyek.”
Sedangkan terkait Kurikulum 2013, ia berpendapat, “Barang yang belum diketahui bentuknya kok diperdebatkan. Barang tak jelas jangan diperdebatkan. Saya sendiri tak tahu Kurikulum 2013 itu seperti apa. Tapi saya setuju dengan pendapat Doni Kusuma, itu kurikulum gado-gado.”
“Padahal kalau guru stres, kepala sekolah stres, kasihan murid-muridnya. Mereka juga akan ketularan stres. Jadi yang penting, terapkan saja paradigma pedagogi reflektif. Intinya, asal Anda memberikan hati Anda kepada murid, itu sudah lebih dari cukup. Budaya kasih dan nilai-nilai kasih itulah yang utama. Menyitir pendapat Paus Benediktus, sekolah bukan kuburan dan padang pasir gersang yang membunuh benih-benih harapan masa depan, tapi oase tempat mewartakan kebangkitan dan memuliakan kehidupan.”
Generasi Gadget
Selanjutnya, ada sharing menarik dari dosen di Salatiga. Kalau ia bertemu dengan mahasiswanya di lift, mahasiswa itu seolah tak kenal dengan dosennya, mereka asyik dengan gadget-nya sendiri. “Itu sebenarnya kebangetan tapi demikianlah yang sering terjadi, Romo,” ujarnya.
Menurut Romo Mintara, manusia zaman modern memang cenderung addictedkepada komputer, HP dan BBM (Black Berry Messenger). “Saya belum lama punya BBM, kalau tak dipaksa teman-teman, saya pun sebenarnya tak mau agar bisa tetap menikmati jalan-jalan sore tanpa gangguan gadget,” ujarnya.
Kendati demikian, internet, komputer, dan sarana IT lainnya kan barang mati. Jadi tak bisa kita salahkan. Tatkala anak-anak kita terus berelasi dengan barang-barang yang tak memiliki hati ya jadinya mereka terbiasa bersikap cuek. Mereka ingin selalu menang seperti saat bermain game komputer. Anak-anak pun tak mau dikalahkan. Parahnya lagi, saat orang tua/guru/dosen ngomong, mereka sambil lalu saja seperti mendengarkan suara dari komputer, imbuhnya lagi.
“Solusinya? Ciptakan suasana kebersamaan di rumah. Apakah itu sebuah jaminan, anak tak terpengaruh di luar sana? Tak selalu begitu, tapi setidaknya, kita menyiapkan tanah yang subur untuk tumbuhnya tunas-tunas baru. Kalau tanah rajin kita siangi, dipupuk, benih yang jatuh di situ niscaya tumbuh lebih subur dan berbuah lebat,” terangnya.