Senin, 22 Juli 2013

Anak-anak Keluarga dan Pendidikan yang Memerdekakan

Patah tumbuh hilang berganti. Mati satu tumbuh seribu. Begitulah peribahasa mengungkapkan tamsil tentang perubahan sebuah generasi yang terus melaju menempuh zamannya dengan tantangan yang berbeda beda. Menempuh rintangan yang tentu saja akan sama sekali berlainan dengan generasi bapaknya, generasi kakeknya, generasi kakek buyutnya, dan lain lain. Itu adalah sunnatullah­-hukum alam dalam bahasa sains-yang tak bisa dihindari.
Setiap generasi akan menuliskan sejarahnya sendiri. Melukis jiwa zaman dengan kanvas dan goresan pena yang mungkin saja lebih kreatif dan lebih progresif sesuai dengan kadar realitas kehidupan di depan. Tinggal bagaimana kita bisa mempersiapkan “senjata” yang sebaik baiknya bagi anak anak kita kelak di masa datang. Jika hal itu diabaikan, maka mungkin saja kita hanya akan meninggalkan generasi yang lemah secara spiritual, keilmuan, dan ekonomi. Sesuatu yang tak pernah diharapkan menimpa anak anak kita, sang pelaju zaman.
Tak heran jika dalam salah satu sabdanya Rasulullah Muhammad Saw pernah mewanti wanti pada umatnya agar mempersiapkan anak anaknya kelak dengan belajar berenang, memanah, dan berkuda. Dengan penafsiran yang lebih kontekstual dengan yang dihadapi sekarang, tentu kita bisa mengambil substansi apa yang diungkapkan oleh Rasulullah tersebut.
Anak anak tak sekedar sebagai pelaju dan penghias zaman semata. Ia adalah permata peradaban yang mesti terus menerus digosok untuk menghasilkan kemilau yang menerbitkan cahaya indah. Anak anak yang tumbuh dan berkembang tanpa dukungan yang positif dari keluarga dan lingkungan terdekatnya hanya akan menjadi deret hitung belaka dan melewatkan begitu saja apa yang tersaji didepannya.
Setiap anak yang terlahir ke dunia mempunyai keunikan masing masing masing. Kate Douglas Wiggin pernah mengatakan, “Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini adalah pikiran Tuhan yang baru, kemungkinan yang senantiasa segar dan bersinar.” Sebuah ungkapan yang memandang bahwa anak anak yang lahir ke dunia ini bersamaan dengan ciri “khas” intelektual dan spiritual yang sudah terkandung di dalamnya. Tugas keluarga dan lingkungannya-lah yang kelak akan memberikan identitas permanen ketika anak anak itu menjadi dewasa.
Seorang anak tak bisa dibiarkan dengan “kesendirian” dan apalagi “ketakpedulian.” Negara pun dengan konstitusi yang dimilikinya menyatakan bahwa anak anak terlantar dipelihara oleh negara. Secara tak langsung negara mengatakan bahwa anak anak sebenarnya adalah pewaris dari sebuah negara dan bangsa yang memerlukan sebarisan generasi yang sehat dan terdidik yang mampu membawa bangsa ini maju di depan, sejajar dengan bangsa bangsa yang lain. Makanya, tak mesti ada anak anak yang terlantar, dan negara-sesuai konstitusi akan mengurusnya.
Oleh sebab itu anak anak memerlukan kehangatan dan tak akan elok jika dibiarkan memendam kepedihan yang mungkin saja akan mengganggu pertumbuhan intelektual dan spiritualnya. Seorang penulis bernama Elie Wiesel pernah mengatakan bahwa kejahatan terbesar di dunia bukanlah kemarahan atau kebencian, melainkan kemasabodohan.
Kemasabodohan terhadap anak anak inilah yang seringkali dilakukan dan malah lalai akan pendidikan terhadap anak sedari dini. Salah satu biang keroknya adalah mungkin kepandiran kita dalam mensiasati roda zaman yang acap kali dipersepsikan sebagai waktu adalah uang. Yang terjadi adalah sebagian dari kita mencari uang sebanyak banyaknya dengan dalih untuk kepentingan keluarga. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya. Keluarga menjadi korban yang tak terhindarkan dari “pertempuran” mencari rupiah dan dollar sampai titik darah penghabisan.
Bapak dan ibu pergi pagi pulang petang, kadang malam. Belum ditambah dengan arisan dan rapat di luar kota. Anak anak yang kesepian malah diasuh oleh para pembantu rumah tangga. Tak jarang, para orang tua menyederhanakannya dengan memberi segepok uang dan lalu menyimpulkan bahwa anak anak mereka akan baik baik saja. Mungkin, nun jauh di lubuk hati anak anak mereka merasakan kekosongan dengan kehampaan yang selalu bertambah tambah di setiap waktunya. Sekalinya bertemu dengan orang tua, malah dampratan dan kritik yang diterima. Mengapa begini dan mengapa begitu. Sementara si anak hanya murung di sudut tembok seraya tak mengerti apa soalnya.
Joseph Joubert mengatakan dengan singkat ihwal mendidik anak, “Anak anak lebih memerlukan teladan daripada kritik.” Ya, anak anak hanya memerlukan keteladanan yang diperlihatkan oleh orang dewasa ketimbang sebuah kritik yang hanya menyisakan ketakmengertian dan kepesimisan. Anak anak dengan jiwanya yang masih ditumbuhi rasa optimisme tinggi tidak semestinya dihancurkan dengan olokan pedas nan menyakitkan. Rasa optimisme yang tinggi itulah yang akan mengantarkan mereka pada keyakinan diri tinggi dan selanjutnya muncul sebagai agen perubahan. Mungkin dengan tulisan atau bisa jadi dengan tindakan.
Mochtar Pabottingi, seorang ilmuwan politik senior, dalam Burung Burung Cakrawala menjelaskan tentang pandangan hidup lapang optimis yang telah ditanamkan terutama oleh ayahnya. Mochtar kecil acap kali mendengar nasihat ayahnya tentang pentingnya menuntut ilmu sebanyak banyak, sebab ilmu berbeda dengan harta yang bisa habis, bisa dicuri, dan bisa hilang. Sedangkan ilmu tak akan pernah habis, tak bisa dicuri, dan mustahil hilang. Dengan bahasa sederhana sang ayah menjelaskan pada Mochtar belia, “Selalulah bertanya pada nuranimu tiap kali engkau hendak melakukan sesuatu yang bisa berdampak buruk. Bagi dirimu sendiri maupun bagi orang lain.”
Dalam bukunya itu Mochtar menjelaskan bahwa petuah petuah yang dikatakan oleh ayahnya itu langsung tertanam bukan pertama tama karena sifat dan nilai universalnya, melainkan karena faktor ayah atau ibu-lah yang menyampaikannya, juga ditunjang oleh faktor rumah yang berlandaskan cinta, faktor kuasa lingkungan pengalaman sejuk, dan faktor rahmat. Inilah landasan awal yang membuat Mochtar Pabottingi muncul sebagai salah seorang ilmuwan politik terkemuka, dan yang terpenting-meminjam istilah Andreas Harefa-menjadi manusia pembelajar. Itulah rasa optimisme Mochtar yang dipupuk sejak dini oleh orang tua, keluarga, dan lingkungan.
Bagaimana optimisme itu muncul dan memberi keyakinan yang teguh pada anak anak? Ya, salah satunya dengan keteladanan dan pendidikan yang baik sejak di rumah.
Untuk mengetahui hal tersebut, ada baiknya kita menyimak sedikit pengalaman salah seorang cendekiawan yang cukup berpengaruh dalam pergerakan nasional di masa masa sebelum kemerdekaan. Namanya mungkin tak asing, Haji Agus Salim. Bung Karno menyebutnya sebagai grand old man. Apa yang dilakukan Haji Agus Salim tentulah sesuai dengan konteks waktu itu, yakni ketika cengkeraman kolonial Belanda begitu menghegemoni.
Kustiniyati Mochtar dalam tulisannya yang bertajuk Agus Salim Manusia Bebas (hal 29-107) yang termuat pada buku Seratus Tahun Agus Salim menceritakan tentang keunikan Agus Salim dalam mendidik anak anaknya. Salah satunya adalah dengan secara sadar tak mau menyekolahkan anak anaknya di sekolah Belanda atau di sekolah mana pun. Ia memilih untuk mengajar mereka sendiri, walau untuk ini anak anak itu tidak harus duduk dalam kelas seperti sekolah.
Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung diberikan secara santai, seakan akan sambil bermain namun mampu membuat mereka pada umur 5-6 tahun telah bisa baca tulis. Sementara itu untuk pelajaran budi pekerti dan sejarah secara tak terasa diberikan dalam kesempatan bercerita , omong omong secara santai. Nampaknya, Haji Agus Salim memiliki cara yang merangsang anak anak untuk banyak bertanya dsn tidak hanya menerima apa yang didengarnya. Begitu anak anaknya telah bisa membaca, yang dianjurkan adalah agar anak anak mereka membaca banyak buku yang disediakan oleh Haji Agus Salim sendiri.
Dan hasil didikan ini tidak mengecewakan. Dengan latar belakang hubungan kasih sayang dan suasana akrab di rumah, diberi teladan beribadat agama, ditunjang dengan bahasa Belanda sebagai alat komunikasi sehari hari serta banyak membaca, telah membuat anak anak Haji Agus Salim cepat menguasai bahasa dan ilmu pengetahuan umum yang luas, jelas tidak kalah dengan anak anak lain sebaya yang belajar di sekolah Belanda. Dan di atas segalanya, ini yang paling menonjol adalah dengan pendidikan langsung dari Haji Agus Salim dan istrinya ini bahwa anak anaknya tidak mengenal rasa rendah diri terhadap bangsa asing, khususnya kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian, sarana pendidikan Belanda bukanlah satu satunya tempat untuk membuat anak anak jadi pandai atau memiliki pribadi yang dapat diandalkan.
Poin penting yang dibangun oleh Haji Agus Salim dalam mengajar anak anaknya tentu bukan berarti meninggalkan sekolah formal, terutama dalam konteks sekarang, melainkan bagaimana Haji Agus Salim menjadikan rumah sebagai atmosfir yang menyenangkan bagi anak anaknya. Rumah adalah taman belajar sekaligus tempat bermain yang tidak membosankan karena Haji Agus Salim berhasil membuatnya betah. Dan yang terpenting anak anaknya itu mempunyai rasa harga diri yang tinggi untuk tak segan berhadapan dengan orang asing (Belanda).
Tujuan yang sama dengan strategi yang berbeda pernah dialami oleh Daoed Joesoef kecil ketika menjalani masa kanak kanaknya di Medan. Dalam buku Emak yang ditulisnya, Daoed Joesoef mengisahkan bagaimana peran penting ibu dan bapaknya agar ia selalu haus dalam menuntut ilmu hingga akhirnya mendapat dua gelar S3 dari universitas di Paris Perancis.
Ibunya Daoed Josoef yang disebut emak, berkontribusi penting dalam pertumbuhan intelektual awal Daoed Joesoef. Ketika Daoed pindah ke sekolah Belanda banyak nada mencibir dan suara sumbang mampir ke telinga emak. Sekolah Belanda adalah sekolah kafir sehingga tak pantas untuk belajar di sana, tetapi emak tetap keukeuh untuk menyekolahkan Daoed dengan berbagai alasan yang masuk akal sehingga masyarakat di kampungnya menjadi diam.
Begitu pun ketika Daoed remaja bertolak ke tanah Jawa guna merantau dengan tujuan melanjutkan pendidikan SMA dan perguruan tinggi. Daoed masih mengenang ketika emaknya memberi nasihat, “Dari dulu sudah emak bilang bahwa bapak dan emak hanya bisa memberikan Daoed rumah, makan, dan pakaian. Bukan ilmu karena kami tak pernah bersekolah. Allah telah berjanji akan mengajarkan kepada manusia apa apa yang tidak diketahuinya. Dengan janji ini sebenarnya Dia telah mengulurkan tangan-Nya kepada kita. Bila kita belajar berarti kita telah mengulurkan pula tangan kita kepada Tuhan agar dibimbing. Bimbingan ilahiah ini tentu ada karena belajar, menuntut ilmu, adalah menjalankan ibadah. Maka pergilah mencari ilmu ke tempat mana pun di mana ilmu itu bisa diperoleh.” Ketika menjadi dosen di UI, Daoeod pun terbang ke Perancis untuk meriah gelar doktor di bidang ekonomi.
Maka tak heran jika di kemudian hari Daoed menjadi salah seorang begawan ekonomi dan pendidikan terkemuka, satu periode menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan. Bahkan di usia senjanya, selepas “tak menjadi apa apa” Daoed Joesoef masih terus menuangkan pikiran pikirannya secara populer di beberapa harian terkemuka ibu kota.
Itu semua saya kira tak lepas dari pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Sinergi antara rumah dan sekolah terjadi dengan harmonis. Di sekolah rakyat, Daoed menjadi mubaligh cilik yang berceramah dari kampung ke kampung. Dalam konteks mikro ia telah memerankan dirinya sebagai aktor perubahan.
Lingkungan keluarga yang kondusif juga ikut mendukung passion seorang Ciputra, taipan properti terkemuka di Indonesia. Ciputra kecil merasakan bagaimana orang tuanya Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio menanamkan spirit entrepreneur. Rumahnya di kota Bumbulan adalah sekaligus toko kelontong, sehingga Ciputra kecil terbiasa bermain dan bergerak di sekitar barang dagangan. Ciputra dalam Guru Guru Keluhuran menulis, “Orang tua saya telah sangat berhasil telah sangat berhasil menciptakan lingkungan yang sangat entrepreneur, yang kemudian nilai nilai itu perlahan tetapi pasti tertanam sangat dalam di hidup saya. Dari ibunda yang sangat saya cintai, saya belajar tentang kerja keras, integritas, persistensi, dan determinasi dalam hidup. Ayah dan ibu saya adalah pedagang kecil yang sangat menghargai pelanggan.
Akibat penanaman nilai nilai yang sangat kuat itu, ketika Ciputra kecil ditinggal ayahnya akibat ditahan oleh Jepang karena dituduh mata mata Belanda, ia dengan mudah bisa menyesuaikan keadaan walaupun hal tersebut mesti ditebus dengan kerja keras. Dan semangat kerja keras itu terbawa sampai dirinya dewasa dan menjadi seorang konglomerat.
Mungkin tak akan bisa diabaikan bahwa faktor keluarga dan lingkungan akan membawa si anak menjadi seorang aktor yang berkontribusi pada perubahan, apa pun dan bagaimana pun caranya. Dua faktor ini kemudian akan berkait berkelindan dengan pola pendidikan yang memerdekakan bagi si anak, bukan sistem pendidikan yang memberangus kebebasan yang di kemudian hari hanya menghasilkan deretan “robot robot” yang hanya bisa mengucap sumuhun dawuh, yes man, atau mentalitas asal bapak senang.
Anak anak secara leluasa dapat memilih koridor yang menjadi salurannya untuk menjadi yang dia inginkan, tentu dalam hal yang positif tentunya.
Inilah beberapa pendorong yang jika dilakukan secara optimal akan membuahkan anak anak yang selalu gandrung melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ia akan gatal jika melihat hal hal yang stagnan, konservatif, dan tidak progresif. Bukan tak mungkin jika di tahun tahun mendatang akan banyak sekali anak anak Indonesia yang berperan sebagai agen perubahan. Tak hanya di tingkat lokal atau pun regional, bahkan mungkin sampai ke tingkat internasional.
***
<<< SUMBER >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar