Selasa, 01 Oktober 2013

Pendidikan Islam Harus Beragam

Oleh:
Abdurrahman Wahid
[Dari: Sumber]


Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “ajaran formal” tentang Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar“ memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam.

Selanjutnya:
Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat “benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya “study kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s).

*******

Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan endidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus di didik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ Haji kecil.

Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.

Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.

******
Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.

Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan penjabaran tarekat dan gerakan shalawat nabi, yang terjadi demikian cepat dimana-mana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja nabi itu, dengan sendirinya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup nabi yang diketahuinya, yaitu kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu tentu saja akan menyadarkan kembali orang tersebut ,kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (Juz’i) belaka. Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang tidak dapat kita pungkiri dan diabaikan.

Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun gampang dirumuskan. Nyatanya memang benar demikian, bukan?





MEMBANGUN PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL










ilustrasi 1


Artikel ini aslinya ditulis oleh: 

Pendidikan tradisional sangat arif dalam menyikapi keberadaan masyarakat lokal , sehingga tidak heran apabila pendidikan tradisional sangat tepat sebagai tolok ukur dalam kemajuan suatu bangsa . Membahas tentang pendidikan tradisional sebenarnya merupakan pembahasan yang sangat rumit, karena belum adanya batasan masalah yang melingkari dasar-dasar penerjemahannya.

Namun untuk menemukan sketsa pembahasan, sekiranya perlu diangkat beberapa interpretasi tentang pendidikan tradisional. Tradisi dalam bahasa latin adalah: traditio “diteruskan” atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan secara terus menerus dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Eksistensi tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa adanya tradisi, tidak mungkin suatu kebudayaan akan langgeng. Tradisi juga dapat menciptakan hubungan antara individu dengan masyarakat secara harmonis.

Berangkat dari pengertian diatas tentang tradisi, maka timbullah konsep tradisi yang melahirkan istilah tradisional. Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan dalam masyarakat yang didalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan norma yang belaku dalam masyarakat. Tetapi tidak selalu dengan cara statis, jadi dalam mengambil sikap juga secara progress (maju). Jadi dari pengertian diatas, dapat diambil tentang apa yang dimaksud pendidikan tradisional yaitu: Usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dalam dirinya, dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang konstruktif dan bersifat progress (maju) agar pendidikan tidak hanya sebatas teoritis belaka. Namun dapat mencapai manfaat dalam kehidupan lingkungan sosialnya dengan menguasai sejumlah keterampilan yang bermanfaat untuk merespon kebutuhan hidupnya.

Tuduhan masyarakat Barat terhadap pendidikan tradisional, cenderung menghakimi secara sepihak. Dengan menghilangkan nilai-nilai konstruktif pendidikan tradisional, sehingga banyak akademisi mengira bahwa pendidikan tradisional tidak dapat mencapai kemajuan. Mereka berlomba-lomba mengadopsi pemikiran Barat yang cenderung liberal dalam merumuskan pendidikan. Apalagi faktanya masyarakat liberal cenderung secara tidak lengkap dalam memberikan stigma terhadap pendidikan tradisional. Hal ini menimbulkan kerancuan dalam penilaian pendidikan tradisional.


Selengkapnya:




Tuduhan Pihak Barat
Tuduhan tersebut diantaranya adalah: pertama pendidikan tradisional menciptakan penjara bagi anak didik dalam wilayah yang terbatas. Pendidikan tradisional menciptakan penjara energi pada kegiatan, yang membatasi siswa dalam berpikir maupun bertindak. Kedua pendidikan tradisional membentuk pembatasan interaksi sosial. Hal ini dianggap destruktif dalam kehidupan masyarakat. Ketiga pendidikan tradisional membatasi siswa dalam meraih pengalaman-pengalaman di dunia nyata. Me-nomordua-kan inisiatif dan kreatifitas.

Analisis diatas menunjukkan bahwa, mereka sadar atau tidak sadar telah terjebak dalam lingkaran pendidikan modern destruktif . Hal ini biasa digaungkan pemikir Barat dan para kawan-kawannya, yang mendukung adanya pendidikan liberal. Supaya pendidikan tradisional secepatnya dimusnahkan, sebab dianggap menghambat imperialisme budaya. Tuduhan masyarakat liberal terhadap pendidikan tradisional cenderung sepihak. Tanpa melihat apa yang ada dalam kearifan pendidikan masyarakat tradisional. Tuduhannya cenderung bersifat negatif (ketidak lengkapan dalam penelitian) dan berwacana itu yang tidak benar.

Ini strategi liberal yang sedang mengobok-obok pendidikan tradisional. Agar para cendekiawan Lokal lebih berpihak pada bangsa Barat . Melunturkan tradisi pribumi yang lebih arif. Karena lagi-lagi kepentingan politik yang membuat sinthesis para liberal, untuk menjatuhkan keberadaan masyarakat tradisional. Konsep ide ini terus menerus digaungkan oleh bangsa Barat. Mereka tidak suka melihat ide lokal yang di anggap menghambat kepentingan bangsa Barat. Mereka selalu menganggap negatif dalam melihat wajah pendidikan masyarakat tradisional. Padahal kalau kita mau melihat secara faktual, pendidikan liberal yang dirasakan masyarakat tradisional cenderung jauh dari kearifan masyarakat. Lebih bersifat kapitalis imperialis. Sebab dalam faktanya, pendidikan liberal cenderung membentuk karakter pendidikan yang cenderung menjajah masyarakat lokal. Dalam wilayah tradisional dan menghilangkan energi siswa bersentuhan dengan fakta yang ada. Pendidikan liberal juga menghilangkan nilai-nilai interaksi sosial siswa. Baik kepada lingkungannya yang mengakibatkan para pelajar cenderung individualis dan egois dalam bersikap. Hal ini menimbulkan sistem “robot” dalam pendidikan liberal. Dengan embel-embel, sebagai pendidikan pembebasan. Padahal hanya tipu daya dengan tujuan membuang sampah yang tak digunakan dinegeri Barat itu sendiri.

Pendidikkan liberal juga hanya sebagai pencucian otak. Pendidikannya jauh dari kenyataan sosial atau sebatas teori tanpa fakta. Pendidikan liberal telah merenggut inisiatif dan kreatifitas masyarakat lokal. Hal ini melahirkan siswa-siswa yang hanya melihat teori-teori belaka tanpa adanya bukti kongkrit. Hal ini dapat menimbulkan masyarakat yang anti sosial. 
ilustrasi 2

Pentingnya Pendidikan Lokal
Dapat dipahami bahwa sikap pendidikan tradisional adalah bagian terpenting dalam sistem tranformasi nilai-nilai kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kita harus menyadari bahwa masyarakat berfungsi menjaga dan memajukan tradisi secara dinamis. Untuk itu setiap siswa seharusnya belajar dari pengalaman di lingkungan sosialnya . Bukan sekedar dibangku sekolah yang diagungkan masyarakat liberal. Mereka menyebut dirinya lebih modern dan selalu mencari stigma kelemahan masyarakat tradisional. Agar masyarakat lokal dapat ditipu daya dan diambil apa yang dimilikinya. Mereka hanya memberikan bungkusan yang indah-indah, padahal sistem pendidikan liberal sangat bobrok. Apabila di terapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat tradisional. Karena tidak sesuai dengan karakter masyarakat lokal.

Pendidikan masyarakat tradisional sudah membumi. Telah menjadi kebiasaan dan pola kelakuan yang dipelajari. Misalnya bahasa, ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Ini berarti juga bahwa konten pendidikan tak terlepas dari tradisi. Terjadinya proses internalisasi dalam diri setiap anggota masyarakat. Pasti landasannya tradisional yang meliputi sikap mental cara berfikir dan cara bertindak menyelesaikan persoalan hidup. Tinggal bagaimana pendidikan mampu menjawab dan memasukkan dengan mengemas pendidikan tradisional. Ciri pendidikan ini menonjolkan jadi jati diri, serta bagian pendidikan-pendidikan yang saat ini sedang mengalami regresi. Yang sekian puluh tahun meniru pendidikan masyarakat liberal yang tidak sesuai dengan jati diri masyarakat pribumi.

Dengan adanya pengkajian secara jujur tentang pendidikan tradisional. Sangat layak untuk dikembangkan dalam tatanan pendidikan negara. Agar bangsa ini tidak kehilangan karakter anak bangsa. Agar kita tidak mengunggulkan secara berlebihan, langsung ataupun tidak langsung terhadap masyarakat Barat .Sebab diakui atau tidak diakui, banyak peneliti pendidikan tradisional dari kalangan Barat. Sehingga hasilnya sudah dapat dipastikan, sesuai dengan keinginan masyarakat Barat dan sekutunya. Semoga pembahasan singkat ini membuka hati kita, untuk selalu mencintai dan memajukan apa yang dimliki bangsa ini. Dengan kaki kita sendiri bisa berjalan, bukan para kaki penjajah gaya baru, yang cenderung menginginan materi, yang ada dalam kehidupan masyarakat pribumi.[am]