Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajastan India. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain adalah seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras. Sewaktu belajar Tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan Bahasa Arab, ia juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang tekhnik sipil dari Vikram University, Madhya Pradesh. Selama 20 tahun ia sempat menjadi pegawai Kota Mumbay sampai memilih menjadi aktivis gerakan Bohra pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993 ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama).
Pemahaman keagamaan Asghar Ali, terkait kelompok Daudi Bohras ini. Daudi Bohras adalah sekte Syi’ah Isma’iliyah yang dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi. Saat ini Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da’i. Untuk diakui sebagai seorang Da’i harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi itu seorang Da’i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali adalah seorang Da’i.
Menurut Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan alat vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemuddian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif.
Menurut Asghar, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah.
Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu.
Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.
Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.
Bagi Asghar Ali Ada beberapa alasan mengapa diperlukan pembenahan terhadap teologi menuju pembebasan, diantaranya pertama bahwa dalam kurun waktu yang cukup lama teologi menjadi suatu yang status quo, stagnan, dan tidak memberikan kontribusi terhadap kemajuan berfikir kaum muslimin, kedua, sekian lama juga teologi dijadikan alat bagi penguasa dalam melanggengkan kekuasaan dengan atas nama agama, ketiga teologi sering dijalankan hanya pada ranah metafisik dan tidak menyentuh sisi subtansi keadilan, kedamaian, kemakmuran bagi kaum muslimin, bahkan justru menjadi jalan bagi halalnya radikalisme dan penindasan.
Pemikiran ini timbul di karenakan pengamatan terhadap realitas yang terjadi, khususnya di India, Negara dimana ia tinggal, terdapat gejolak sosial yang luar biasa dimana agama-agama tersebar, dan secara teologis mengusung semangat ketuhanan, tetapi pada kenyataannya bertolak belakang dengan esensi kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Dia melihat begitu hebat pergesekan (konflik) kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama dan banyak menelan korban. Selain itu juga realitas adanya struktur sosial yang mengenal kelas di India sangat menghambat bagi hak-hak warga Negara untuk mendapatkan hidup yang layak. Sehingga gagasan tentang teologi pembebasan merupakan suatu yang fenomenal dan mendekontruksi pemikiran traditional-teologic dengan melakukan upaya aktif melalui berbagai gerakan-gerakan perspektif Teologi Pembebasan yang menuntut perubahan struktur sosial yang tidak adil dan menindas.
Asghar Ali juga melihat bahwa setelah wafat Nabi, Agama menjadi sesuatu yang mapan (status quo), bahkan para ulama pada masa-masa ini lebih disibukan dengan menuliskan masalah-masalah furu`iyah dan Syariat dengan tidak mengexplore nilai-nilai subtantif bagaimana Islam dapat memberikan pembebasan terhadap kaum lemah, kaum tertindas dan menciptakan keadilan dan kedamaian bagi umat beragama. Padahal jika menengok Kembali kepada perjuangan Nabi, bahwa semangat keadilan dan keberpihakan kepada kaum mustadafin dilakukan dengan revolusi besar-besaran dalam dakwanya. Pertama, Nabi memberikan pemahaman tentang pentingnya pengetahuan membaca dan menulis untuk keberlangsungan bangsa arab yang sejak lama terkungkung dengan kebodohan dan keterbelakangan, kedua Nabi juga meletakan asas perdamaian terhadap suku-suku yang seja lama bersebrangan untuk hidup berdampingan, ketiga Nabi juga meletakan asas kemandirian ekonomi masyarakat arab dengan berniaga, keempat bagimana Nabi memberikan penghargaan kepada kaum wanita yang selama itu tidak dihargai dan membebaskan perbudakan yang telah merajalela akibat exploitasi kaum kaya, kelima dalam sistem politik, Nabi meletakan proses-proses demokrasi dengan mengedepankan asas musyawarah dalam pengambilan keputusan. Maka jika melihat begitu besar revolusi yang dilakukan nabi, dapat dikatakan bahwa Nabi adalah sang pembebas. Dalam konsep keadilan dan kesejahteraan, Nabi telah jelas menganjurkan kepada orang-orang kaya untuk memberikan sedikit hartanya dan mengecam saudagar-saudagar kaya yang menumpuk-numpuk harta, namun kikir tidak mau berbagi dengan sesama.
Sebenarnya Islam adalah agama yang meletakan prinsip persaudaraan universal, kesetaraan dan keadilan sosial. Pada prinsip ini, Islam menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an surat Al Maa-idah ayat 8 yang Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Al Maa-idah:8)
Dalam ayat ini sungguh jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan baik secara ritual, juga lebih secara sosial. Dalam kontek ayat ini juga, Islam sangat menekankan semangat keadilan di semua aspek kehidupan, keadilan dimaksud adalah dengan membebaskan kaum lemah dari tirani penindasan dan keterpurukan dan memberikan kesempatan mereka untuk memimpin.
Langkah-langkah implementasi islam sebagai teologi pembebasan
Pembebasan Diskriminasi Ras
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa Arab jahiliyah adalah bangsa yang terkungkung oleh cara pandang kesukuan atau rasialis. Cara pandang ini kemudian dihapus secara keseluruhan oleh Islam yang menekankan tentang kesatuan manusia. Islam menyatakan bahwa semua manusia berasal dan keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan sedikitpun satu sama lain yang disebabkan oleh suku, bangsa, ras, atau wama kulit; sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalahyang paling taqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui”. Ayat ini secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan, atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan dan ketaqwaan. Kesalehan yang dimaksud bukan hanya kesalehan ritual individual namun kesalehan sosial. Dalam Firman-Nya Q.S Al maa’idah ayat 8 “Berbuatlah adil, karena itu lebih dekat dengan taqwa”. Ini adalah konsep yang paling revolusioner dan liberatif, bukan hanya bagi bangsa Arab saat itu tetapi untuk seluruh bangsa-bangsa di dunia hingga nanti.
Hal ini terkait langsung dengan konsep kemajemukan (pluralisme) yang sejati dan bukan yang formal semata. Pluralisme harus difahami sebagai suatu pertalian sejati dari kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, dan sebagai suatu keharusan bagi keselamatan ummat manusia secara keseluruhan, melalui mekanisme penyeimbangan dan pengawasan.
Pembebasan Dari Takhayul
Engineer berpendapat bahwa sebuah gerakan yang revolusioner, radikal dan liberatif sangat menekankan pentingnya peran akal, dan menentang takhayul atau kepercayaan yang negatif.7Karena akal menjadikan orang dapat bertanya dan berpandangan kritis. Sementara takhayul mengakibatkan tidak berfungsinya daya kritis manusia. AI-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk berfikir dan menyebutnya sebagai Ulil Albab. Orang yang hanya mengikuti tradisi nenek moyang tanpa mengkntisi disebuta’ma (buta), sedangkan orang yang berfikir disebutbasr (dapat melihat). Seperti dinyatakan oleh Al-Qur’an dalam surat 6 : 50.
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"( Al An’am : 50)
Al-Qur sangat jeIas dan gamblang mengajak manusia untuk merenung dan berfikir, bukan mengikuti tradisi secara buta. Ayat ini sesungguhnya dapat memberikan dampak liberatif kepada ummat manusia.
PembebasanPerempuandanKetertindasan
Perempuan seperti disinggung di muka, sangat tidak berdaya di dunia Arab dan di seluruh dunia. Namun demikian, Rasulullah Saw. dengan Al-Qur’an (surat Al Baqarah: 228) mendeklarasikan hak-hak perempuan, yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan dalam aturan yang legal.
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pada saat Al-Qur’an turun itulah untuk pertama kalinya keberadaan individu perempuan sebagal makhluk khidup diterima tanpa ada persyaratan. Perempuan dapat melangsungkan pernikahan, dapat meminta cerai kepada suaminya tanpa persyaratan diskriminatif, dapat mewarisi harta ayah, ibu, dan saudaranya yang lain, dapat memiliki harta sendiri dengan hak penuh, dapat merawat anak-anaknya hingga dewasa, dan dapat mengambil keputusan sendiri secara bebas.8 Di Eropa, perempuan tidak berhak memiliki harta hingga akhir abad ke 19 sedangkan di Amerika, perempuan baru mempunyai hak pilih pada sekitar tahun 1920.
Kalau perempuan dikatakan menderita karena suaminya boleh menikah lebih dan satu wanita (sampai empat), itu hanya sebuah stigma. Tidak dapat disangkal bahwa stigma itu memang merendahkan status perempuan, yang sesungguhnya sederajat dengan laki-laki. Tetapi laki-laki Arab mempunyai kebiasaan menikah dengan banyak istri dan Islam datang membatasi hanya sampai empat. Pemikahan lebih dan satu kali diizinkan dengan aturan yang ketat, yaitu untuk melindungi janda-janda dan anak-anak yatim serta harta mereka; sehingga bukan untuk kesenangan laki-laki semata. Tetapi jika laki-laki kuatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah satu orang saja. Demikian pesan inti surat An-nisa : 3. Biarlah stigma yang berlaku saat ini terkubur dalam sejarah seiring dengan semakin meningkatkan kesadaran dan kecerdasan kaum perempuan.
Ketidak-berdayaan perempuan ini seharusnya juga dilihat dalam konteks sosiologis. Jika masyarakat atau konteks berubah, maka ketidak-berdadayaan ini harus ikut berubah. Prinsip dasar kebebasan dan harkat individu perempuan (seperti isyarat Al Quran) adalah lebih daripada ketidak-berdayaan secara sosiologis.
Pembebasan Sosial
Di atas telah disinggung bahwa Nabi Muhammad membuktikan prinsip persamaan derajat sesama manusia kecuali atas dasar taqwa, dengan cara meminta Bilal bekas budak hitam namun sangat bertaqwa untuk mengumandangkan adzan shalat dari atas Ka’bah. Hal ini adalah bahasa kiasan yang harus dicermati dengan teliti dan seksama sehingga kita mampu menangkap intisari ajaranya. Saya percaya kita semua mampu melakukannya dan bahkan telah mempraktekannya. Namun demikian, mari kita simak tulisan Raif Khoury yang sedemikian menggetarkan yang termuat dalam tulisan Engineer, sebagai berikut: Betapa sering kita mendengar suara adzan dari menara kota-kota Arab yang abadi ini: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapasering kita membaca atau mendengar tentang Bilal, seorang keturunan Abesinian mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya sehingga menggema di jazirah Arab ketika Nabi mulai berdakwah dan menghadapi penganiayaan serta hinaan dari orang-orang yang terbelakang dan bodoh. Suara Bilal merupakan panggilan, seruan untuk memulai perjuangan dalam rangka mengakhiri sejarah buruk bangsa Arab dan menyongsong matahari yang terbit di pagi hari yang cerah. Namun apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan apa isi dari panggilan itu? Apakah setiap mendengarkan panggilan suci itu, kamu ingat bahwa Allahu Akbar bermakna (dalam bahasa yang tegas): berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan dari para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukanlah kaum perempuan! Hancurkanlah cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecah belah ummat! Carilah ilmu sampai ke negeri Cina! Berilah kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan Berilah kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang sebenar- benarnya bersinar !!!
Pembebasan dari Segala Bentuk Tiran/Thaghut
Islam sangat menekankan keadilan terlaksana dalam seluruh aspek kehidupan, dan keadilan akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marginal dari penderitaan. Al-qur’an memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berjuang dan berperang membebaskan golongan masyrakat lemah dan tertindas.
Bahkan Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa Allah akan memberi karunia kepada kaum tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin sertta mewarisi bumi. Menurut Engineer hal ini membuahkan teori yang disebut teori “kekerasan yang membebaskan (liberative violence)”.
AI-Qur’an dengan tegas mengutuk kezaliman atau penindasan (zulm) dan perbuatan jahat. Allah tidak menyukai kata-kata yang kasar kecuali oleh atau dari orang-orang yang teraniaya. Dan sebaliknya Allah akan mengkabulkan do’a orang-orang tertindas.
Kesemuanya dapat diartikan bahwa Allah tidak memberi toleransi terhadap struktur yang menindas dan menganiaya orang-orang yang lemah. Penganiayaan ini dilakukan tidak lain kecuali oleh para penindas (baik sebagai penguasa maupun pengusaha). Nabi Musa telah ditunjuk menjadi pemimpin kaum tertindas dari Bani Israil melawan kezaliman Fir’aun dan Haman, dan Nabi Muhammad adalah pembebas bagi seluruh ummat manusia hingga akhir zaman.
Nabi Muhammad secara tegas mengecam para saudagar kaya yang menimbun kekayaan, karena nafsu serakah ini akan mengarah kepada eksploitasi dan penindasan. Penumpuk harta tersebut telah menyalakan api yang akan membakar dinnya sendiri. Penumpukkan harta itu akan melemparkan suatu masyarakat ke dalam api membara dan mernecah belah mereka. Kecaman ini akan berlaku untuk seluruh manusia di mana saja hingga akhir zaman.
Namun dengan adanya kecaman itu bukan berarti Islam mengajarkan penolakan terhadap materi, justru menganjurkan manusia dengan alasan rasional untuk menjadi kaya melalui cara-cara yang benar dan adil, tidak menipu dan eksploitatif.
Jika sebagian kecil orang kaya di suatu masyarakat mengkonsumsi barang secara berlebihan sementara sebagian besar rakyat lainnya mengalami kekurangan, maka Allah akan menimpakan bencana kepada masyarakat tersebut. Dalam bahasa lain ingin dikatakan, bahwa sebuah kota akan binasa jika orang-orang kaya sampal melewati batas dalarn konsumsi sementara sangat banyak orang yang miskin dan tak berdaya. Maka hanya penerapan Keadilan distributif yang dapat mencegah bencana tersebut. lnilah pandangan Engineer.
Bagaimanakah menciptakan keadilan sosial seperti ini? Dengan cara sukarela atau pemaksaan? Islam menganjurkan keduanya. Kata kuncinya adalah adanya kesetaraan(equality) pada seluruh manusia. Pada zaman pertengahan, lembaga yang berfungsi mengelola sumbangan secara sukarela telah dapat menciptakan keadilan sosio- ekonomi. Pada zaman modern ini, lembaga yang sama dapat difungsikan, melalul kewenangan pemerintah atau perundangan- undangan tertentu, tentu dengan proses dan mekanisme yang djsesuaikan dengan kompleksitas dunia modern, sehingga dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat.
Allah menghapuskan pajak yang eksploitatif dan menetapkan zakat sebagal kewajiban, dan Nabi mendirikan Baitul Mal negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat guna membela kesejahteraan mereka yang miskin dan tidak mempunyai sumberdaya hidup. Jadi zakat bukanlah untuk memenuhi kesalehan pribadi semata, tetapi merupakan sistem yang harus dikelola berdasarkan prinsip- prinsip manajemen publik yang transparan, untuk menjamin terlaksananya kesejahteraan sosial di suatu masyarakat.
lniIah inti pandangan sahabat Nabi yang mulia, Abu Dzar Al- Ghifari, yang telah menangkap semangat revolusioner dari Islam. Sahabat yang mulia ini sangat knitis dan memprotes keras terhadap kebijakan pemerintahan Umayyah yang mengkapling-kapling tanah dalam jumlah besar untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan merubah istilah mal al-muslimun (milik rakyat) menjadi mal al-Allah (milik penguasa) yang diimplementasikan untuk kepentingan pribadi tanpa pertanggungjawaban kepada ummat Islam. Dalam pandangan Abu Dzar Al-Ghifari, Ukhuwah lslamiyyah tidak akan bermakna tanpa pemerataan sosio-ekonomi di dalam masyarakat.
SikapTerhadap Agama Lain
Engineer menyatakan bahwa keterbukaan, toleransi dan menghormati agama-agama lain merupakan aspek penting. Al-Qur’an menegaskan dengan jelas, bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena jelas bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Al-Qur’an melarang berbantahan dengan para penganut kitab suci, kecuali terhadap yang dzalim dari kalangan mereka Al-Qur’an mengajarkan agar orang beriman menunjukkan rasa hormat kepada semua Nabi, dan Nabi paling awal hingga paling akhir, baik yang tercantum atau tidak tercantum namanya dalam Al-Qur’an, karena Allah tidak membeda-bedakan Nabi-Nabi tersebut Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan atau mengidentifikasi ajaran serta ummat dari Nabi-Nabi tersebut sekarang ini.
Bila mengkaji mendalam terhadap Al-Qur’an akan sampai pada kesimpulan, bahwa perbedaan-perbedaan sosial adalah suatu sunnatullah dari kenyataan kita dalam masyarakat, namun tidak berarti Islam toleran terjadinya ketidakadilan sosial Justru setiap muslim dituntut untuk menegakkan kesetaraan (egalitananisme) dan keadilan sosial, bahkan dipandang sebagal memiliki nilai ibadah yang sangat tinggi.
Pemihakan kepada kelas mustadh’afin bukan dalam rangka untuk menghancurkan kelas mustakbirun (kaum penguasa), tetapi lebih kepada pengertian untuk merombak struktur dan mekanisme yang tidak adil yang diciptakan penguasa, dan tidak sekali-kali untuk menghantarkan kelas musfadh’afin kembali menegakkan kediktatoran baru. Dengan perspektif ini, maka perbedaan kepentingan antar kelas tidaklah bersifat dikotomis tetapi fungsional-integratif. Sehingga secara ideologis sistem sosial Islam harus menciptakan mekanisme yang memungkinkan terjadinya kerjasama antar kelas, menuju tegaknya persaudaraan universal, kesetaraan manusia, keadilan dan kesejahteraan sosial. Inilah makna Islam sebagai agama pembebasan.
Langkah ke Depan
Setelah lama sekali, sejak ditinggalkan khalifah rasyidah, Islam banyak kehilangan karakter liberatif atau pembebasannya dan menjadi bagian dari pemerintahan monarkhi yang mapan yang dimulai sejak di bawah Bani Umayyah. Padahal Nabi selalu bersama-sama dengan orang miskin, tertindas, para budak, serta tidak pernah ragu-ragu untuk menderita bersama mereka.
Namun Khalifah Umayyah hidup bersama para tiran yang kuat dan kejam. Jumlah budak berlipat ganda, perempuan dipaksa menjadi harem (budak seks) yang dilecehkan, orang-orang non-Arab diperlakukan secara diskniminatif, dan ajaran agama yang liberatif diganti dengan ajaran fatalistik (jabariah). Dogma jabariah disebar luaskan secara aktif, sedangkan pandangan qadariah diberangus. Bersamaan dengan tumbuh-tumbuhnya nilai-nilai feodalistik yang semakin kuat, sehingga kesamaan sosio-politik dilenyapkan, dan hanya “muncul” ketika beribadah di masjid. Kaum wanita betul betul dicampakkan dan status sosialnya yang tinggi. lnilah masa Islam mengalami kemunduran yang sangat jauh dan kehilangan daya dobraknya.10Adakah Islam akan bangkit lagi ???
Sekarang Islam sebenarnya ditantang untuk merumuskan kembali konsep dan strategi gerakan sosialnya, dalam rangka melakukan transformasi menurut cita-cita normatifnya. Sebagai suatu gerakan yang mempunyai asas atau dilihami oleh Islam, maka pergerakan tersebut harus peka terhadap fenomena ketidakadilan sosial. Sudah saatnya untuk menentukan keberpihakan kelas guna menegakkan keadilan dan kesejahteraan ummat secara menyeluruh.
Adalah kini saatnya Warga Negara Islam Indonesia sebagai elemen sosial strategis Negara Islam Indonesia berkenan memikul amanah pembebasan yang bernilai ibadah sangat tinggi ini, lantas menuangkannya ke dalam rumusan agenda aksi sosial-politik, untuk kemudian mempelopori upaya pembebasan semesta dimaksud.
****
===Sumber: Link====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar